Minggu, 19 September 2010

Tantangan Agustinus Christ Dula-Gasa Maximus (2)

Pelaksanaan Proyek Butuh Pengawasan Yang Ketat

Selama ini, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) disesaki oleh berbagai proyek pembangunan. Itu signal yang positip sekaligus sebuah ironis. Proyek-proyek yang sedang menggeliat ini, tanpa diimbangi oleh pengawasan yang maksimal.hasilnya tetap buruk, rakyat menikmati pembangunan yang tidak layak dan tidak berkualitas. Ini hanya slah satu dari tantangan pemerintahan duet Dula-maxi lima tahun kedepan

Misalkan saja, pengerjaan Rumah sakit umum daerah (RSUD) yang katanya konsep pembangunan bertaraf internasional. Hingga kini tidak kunjung rampung. Proyek yang menelan dana miliaran ini hanya menghasilkan bagunan setengah jadi dan beberapa bagian sudah mulai roboh. Belum lagi proyek pembanguan gedung kantor bupati. Proyek yang setipa tahun dianggarkan APBD hanya menghasilkan sebuah bagunan yang boleh dikata belum layak pakai. Sebagian Platfom jebol, saat hujan turun air tergenang dalam di beberapa bagian, tiang serta dinding mulai retak.

Lain lagi dengan pembangunan kantor bupati Mabar. Sudah lima tahun pengerjaan kantor bupati itu belum kujung rampung dan dinilai tiak berkualitas. Terbukti saat musim hujan air meluap dan tergenang dalam beberapa bagian kantor, beberaa bagian platfom sudah jebol. Hal yang sama juga terjadi dalam proyek pembangunan rumah jabatan bupati. Hingga kini pembangunan dengan pagu anggaran milliaran tersebut tak kunjung selesai. Akibatnya bupati Mabar masih tetap tinggal di ruko (rumah kontrakan-red)

Belum lagi pengerjaan royek pembangunan Pustu di pulau seraya kecanatan komodo, pustu rego kecamatan macang pacar menuai masalah. Pengerjaan jalan Lando-kondopun demikian. Serta masih banyak lagi pembangunan proyek fisik yang tentu saja tidak berkualitas. Tidak heran dalam sidang tahun anggaran 2010 kemarin DPRD mabar mengecam. Dalam pemandangan umum masing masing fraksi menilai pemerintah lemah dalam pengawasan pengerjaan proyek.

Rendahnya kualitas pengerjaan sejumlah jalan raya, Pustu di pulau seraya kecanatan komodo, pustu rego kecamatan macang pacar, pengerjaan kantor bupati Mabar, rumah jabatan bupati gagalnya proyek pembangunan RSUD, merupakan letupan gunung es. Bahwa, ada hal yang terbaikan dalam gegap gempita pembangunan Mabar sekarang. Terlihat tapi terabaikan.

”Bagaimanapun yang berlalu telah berlalu. Tapi, setidaknya kita perlu belajar dari kesalahan masa lalu. Memperbaiki dan memulai yang baru. Yah, tapi kembali ke tangan nahkoda utama kabupaten Mabar, perlu menyiasati gejolak pembangunan daerah ini secara produktif” ungkap aktifis sosial Pater Marsel Agot, SVD

Bagi Pater Marsel hal yang perlu dilakukan oleh Dula-Maxi, adalah melakukan pengawasan yang ketat. Menurut pater Marsel sangat penting memperketat pengawasan sejumlah proyek fisik. Proyek-proyek daerah menurutnya perlu diawasi secara serius dan intensif oleh Pemerintahan Dula-Maxi. ”siapapun Kontraktor pemenang tender proyek fisik tidak sekali-kali mengibuli pengerjaan. Berikan pada rakyat sebuah pembangunan yang layak dan berkualitas. Rakyat memiliki hak mengunakan hasil pembangunan yang layak dan berkualitas” tegas Pater Marsel

Pengawasan Melibatkan Masyarakat
Bupati Manggarai Barat, Agustinus Christ Dula mengakui banyak pengerjaan proyek tidak berkualitas dan tidak layak bagi masyarakat. Persoalan ini Menurutnya berawal dari sebuah proses yang tidak benar. Mulai dari perencanaan, proses pelelangan hingga pengerjaan dan pengawasan. Masyarakat menurutnya apat mengamil peran dalam tahapan tahapan ini.

Bupati Dula mengungkapkan ada pengerjaan proyek yang mubasir. Misalnya proyek air minum bersih di beberapa tempat. Setelah proyek selesai air tidak mengalir, bak penampung pecah dan hanya menampung air hujan. Ini kelemahan dari perencanaan yang tidak serius, paling tidak sudah dipikirkan debit air dan perhitugan lainnya. Proses tender juga demikian, disinyalir dilakukan dengan menyimpangan dari aturan main.

”kalau memang perusahaan tertentu tidak layak, ya patianya harus tegas. Biarkan pekerjaan itu dikerjakan oleh rekanan yang benar benar serius, memenuhi perayataan. Kalau ada yang engatasnamakan bupati dan wakil bupati langsung coret saja” tegasnya

Bupati Dula akan melibatkan elemen masyarakat baik kepala desa, tokoh masyarakat dalam melakukan pengawasan pengerjaan sejumlah proyek fisik. Menurut Bupati Dula rakyat punya hak untuk melakukan pengawasan pengerjaan proyek di wilayahnya. Kalau ditemukan adanya penyimpangan langsung melaporkan. ”yang menikmati pembangunan adalah rakyat, pengerjaan sejumlah proyek ini mengunakan uang rakyat karenanya rakyat harus ambil bagian melakukan pengawasan” pintanya.

Tantangan Agustinus Christ Dula-Gasa Maximus (1)


Melakukan Perubahan Dengan Fokus Tiga Kebutuhan Dasar

Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) diprediksi menjadi industri wisata yang bisa menggeser posisi Bali ke depan” Ungkap Petinju Krist John saat mengunjunggi Labuan bajo beberapa waktu lalu di Hotel Bintang Flores. Kris Jhon mengungkapkan ini setelah mengunjungi beberapa obyek wisata di Mabar saat shotting iklan sebuah produk di beberapa tempat di labuan bajo dan Sano Nggoang. ”Labuan bajo sangat luar biasa” lagi lagi Kris Jhon menuji muji keindahan alam Mabar.

Apakah itu mungkin? Optimisme Krist Jhon ini tentu tidak mengada-ada. Mabar punya tipikal istimewa dianugerahi aneka obyek wisata. Kita kenal satwa endemiknya biawak Komodo yang telah menjadi ikon pariwisata Manggarai Barat, bahkan Nusa Tenggara Timur secara umum.

Sayangnya, potensi wisata ini belum dikelolah secara baik. Rasa-rasanya, kata sihir petinu dunia ini, sulit didamaikan dengan realitas kini. Apa yang kita jumpai di Mabar sekarang, masih banyak desa dan obyek wisatanya terisolasi tanpa terekat oleh infrastruktur transportasi. Selama lima tahun, Mabar terkesan bagaikan “raksasa yang berjalan sambil tidur”. 5 tahun berjalannya pemerintahan defenitif sebenarnya sudah cukup matang dalam menggenjot akselerasi pembangunan. Paling kurang, runtuhnya sekat-sekat isolasi di desa-desa terpencil dan kawasan wisata lewat energisitas proyek infrastruktur transportasi.

Dalam berbagai kunjungan Bupati ke wilayah kecamatan dan desa desa, jika dibuka kesempatan dialog acapkali warga selalu meminta dibuatkan jalan, minta dibangun fasilitas air minum bersih, minta dibangun sekolah dan kebutuhan masyarakat lainnya. Moment pemilukada mabar lalu misalnya sering dimanfaatkan warga untuk meminta minta pembangunan ”tolong buka jalan raya untuk desa kami!” minta seorang warga desa tiwu nampar saat berdialog dengan satu kandidat pemilukada mabar lalu

Aktifis Sosial, Boni Hargens saat berada di labuan bajo beberapa waktu lalu menilai situasi ini sering dijumpai diberbagai pertemuan warga dengan pemerintah. Rakyat melihat peluang ini untuk minta dan minta. Sepertinya rakyat adalah pengemis pembangunan? rakyat di daerah terpencil kebanyakan seperti itu, punya kesadaran besar akan mobilitas pembangunan. Tinggal saja, bagaimana pemerintah merespon kesadaran rakyat ini.
”Komunitas terpencil adalah kelompok sosial yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik. Pembangunan daerah sejatinya ditakar oleh kehidupan warga desa terpencil.” ungkapnya

Bupati Mabar Agustinus Chris Dula menegaskan teraksesnya jalan raya ke desa-desa terpencil merupakan prioritas utama pembangunan dalam pemerintahannya 5 tahun kedepan. Tujuan pembangunan yang akan dilakukannya adalah berorientasi pada tiga kebutuhan dasar masyarakat. tiga kebutuhan dasar tersebut adalah fasilitas jalan raya, air minum bersih dan kelistrikan. Menurutnya tiga kebutuhan yang akan diprioritaskan ini akan mampu meningkatkan perekonomian rakyat.

Persoalan kris air bersih diakuinya merupakan persoalan yang terus menjadi sorotan publik. Baik di kota labuan bajo maupun di daerah daerah terpencil. Ketersediaan air minum bersih menjadi kebutuhan masyarakat mabar saat ini. Dalam kota labuan bajo krisis air minum bersih sangat mengganggu industri pariwisata. ”Kota labuan bajo akan dikembangkan menjadi kota destinasi wisata untuk itu persoalan air minum bersih, kebersihan kota dan infrastruktur jalan dalam kota, serta kelistrikan menjadi prioritas” tegasnya

Jalan Raya Dorong Pertumbuhan Ekonomi Rakyat

Menurut Bupati Dula pembangunan fasilitas jalan raya akan mempercepat pergerakan ekonomi di desa. Baik dengan membuka jalan baru ke daerah isolasi atau meningkatan kualitas jalan yang sudah ada adalah hal terpenting dalam peningkatan perekonomian rakyat.

Dijelaskannya hampir di 7 kecamatan di Mabar adalah penghasil tanaman perdagangan. Kopi, merica, vanili, coklat, cengke di daerah kuwus macang pacar. Kemiri, cengkeh di daerah sanonggoang, kemiri, mente di welak, padi mente di wilayah daratan lembor dan boleng. Semua potensi ini diakui Bupati dula belum dikelola secara baik. Belum sepenuhnya mempengaruhi perekonomian rakyat. Persoalannya ada di frasportasi. Hasil produksi seagian kecil dijual banyak yang memusuk dan menjadi akanan ternak. ”jika arus trasportasi dari desa ke kota lancar maka dengan sendirinya mendorong pertumbuhan ekonomi” yakin Bupati Dula****(bersambung)

Mengugat Belis di Manggarai Raya (1)

Neo-trafficking atau Human Awards?

Budaya belis adalah salah satu bagian dari warisan budaya yang ada di manggarai.raya Namun warisan yang mahaluhur itu mendapat sorotan yang begitu tajam dari masyarakat yang sedang bergulat dengan budayanya sendiri. Di Manggarai Barat untuk tidak main main dengan urusan belis berkisar 75 juta hingga 500 juta. tulisan ini sebagai ungkapan kegelisahan ketika melihat perkembangan budaya itu ke arah yang destruktif dan menjadi pemicu mapannya situasi kemiskinan da persoalan humanitas. Bagaimana kebudayaan itu membebaskan dan membawa manusia pada pemaknaan diri yang lebih manusiawi serta menemukan unsur hakiki dalam dirinya sebagai manusia. persoalan mendasar yang hendak saya putuskan adalah mengenai ke manakah arah budaya belis sekarang. Apakah sebagai bentuk baru dari penjualan manusia (human traffciking) atau masih berupa penghargaan atas hidup manusia ( human awards) khususnya kaum wanita ?

Tidak ada definisi yang baku atas istilah Belis yang ada di manggarai raya Kita hanya dapat mengetahui bahwa belis itu merupakan seperangkat mas kawin yang diberikan oleh anak rona ( keluarga mempelai laki-laki) kepada anak wina (keluarga mempelai perempuan). Dan biasanya berdasarkan atas kesepakatan sebelumnya dan upacara kesepakatan atas mas kawin itu di sebut pongo. Setelah semuanya mencapai kesepakatan, ada waktu yang telah ditentukan untuk menyerahkan mas kawin itu di sebuah acara adat yaitu ‘wagal’ dan acara ini lebih meriah dari acara pongo. Acara wagal ini biasanya disertai dengan tarian caci (tarian khas manggarai). Perlu diingat bahwa, pada saat pongo (kesepakatan belis), terjadi proses tawar menawar yang begitu sengit antara tongka (juru bicara) dari pihak anak rona dan anak wina. Mempelai perempuan memberikan patokan belis yang harus dibayar kemudian ditanggapi oleh keluarga mempelai laki-laki berupa tawar-menawar sebelum adanya keputusan final. Kadang tidak ditemukanya kesepakatan dan apabila kesepakatan tidak ditemukan, maka acara itu ditunda lagi.

Terdapat tiga bentuk-bentuk perkawinan adat yang ada di manggarai. bentuk yaitu cangkang, cako, dan tungku. Perkawinan cangkang adalah bentuk perkawinan antara seorang pemuda dan seorang pemudi dari dua keluarga yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan sebelumnya. Hubungan kekerabatan antara anak rona dan anak wina dalam perkawinan cangkang bersifat sangat formal. sebagaimana dilihat ketika pihak anak wina melakukan negosiasi dengan pihak anak rona menyangkut besaran belis ‘maskawin’ dalam acara peminangan (du ngo taeng). Selain besaran nominal belis yang diminta pihak anak rona relatif tinggi, tuntutan cara pembayarannya juga begitu ketat.

Jenis belis yang diminta pihak anak rona kepada pihak anak wina adalah kerbau (kaba), kuda (jarang), babi (ela), kambing (mbe), dan sarung adat (lipa songke) dalam jumlah tertentu sesuai status sosial keluarga anak rona. Apabila semua belis sudah dilunasi pihak anak wina, acara pernikahan (nempung) dapat dilaksanakan dan pengantin perempuan langsung diantar ke kampung keluarga anak wina melalui sebuah upacara adat yang disebut podo ‘antar’. Perkawinan cako adalah bentuk perkawinan antara seorang pemuda dan seorang pemudi dari satu temali kekerabatan wa’u yang sama. Bentuk perkawinan ini hanya berlaku pada generasi lapisan ketiga ke atas. Penyimpangan terhadap ketentuan adat itu dipahami sebagai sebuah dosa berat (ndekok mese) dalam perspektif budaya manggarai.

Terminologi umum untuk bentuk perkawinan yang menyimpang ini adalah “insect”. Diidentifikasi sebagai sebuah dosa berat karena tindakan itu bersifat antisosial yang menyebabkan ketidakselarasan hubungan sosial kemasyarakatan dalam lingkup kehidupan satu wa’u. Untuk mengatasi adanya dampak negatif terhadap hidup dari bentuk perkawinan ini, maka diadakan ritual pemutusan. Tindakan pemutusan hubungan itu biasanya dilaksanakan melalui sebuah ritual khusus yang disebut adak keti manuk miteng (ritual potong ayam berwarna hitam). Disebut demikian karena hewan yang digunakan sebagai sarana persembahan utama dalam ritual itu adalah seekor ayam berwarna hitam (manuk neni atau manuk miteng) yang dipahami dan dimaknai oleh orang manggarai sebagai lambang kegelapan dan kegagalan. Dalam bentuk perkawinan ini, belis tidak terlalu dituntut karena dianggap sebagai kecelakaan.

Perkawinan tungku adalah bentuk perkawinan seorang pemuda dari pihak keluarga saudara perempuan (weta) dan seorang pemudi dari pihak keluarga saudara laki-laki (nara). Seperti tersurat dari makna leksikal kata tungku ‘sambung’, perkawinan tungku bertujuan menyambung kembali hubungan keluarga antara saudara perempuan dan saudara laki-lakinya yang sudah terputus karena perkawinan cangkang.
Adanya belis secara ketat terjadi dalam bentuk perkawinan yang pertama yaitu bentuk cangkang. Dilihat dari tradisi yang hidup pada awalnya, belis merupakan bentuk penghargaan keluarga laki-laki terhadap keluarga perempuan karena telah menyerahkan anaknya untuk menjadi bagian yang sah dari keluarga besar sang lelaki.

Semula tradisi belis (maskawin) di manggarai tidak menimbulkan kegelisahan yang mendalam dari sebagian masyarakat manggarai. Belis dianggap sebagai nilai yang berharga dalam sistem perkawinan manggarai. Belis dimaknai sebagai tali pengikat persaudaraan dan kekeluargaan antara pihak anak rona dan anak wina. Namun ketika nilai itu mengalami pergeseran ke sifatnya yang pincang dan tidak sesuai dengan makna dasarnya, maka kecemasan, keresahan dan diskusi-diskusi yang produktif pun semakin hangat terjadi dan semuanya itu merupakan usaha manusia untuk mengembalikan keaslian makna dari nilai ‘belis tersebut’. Bahkan ada yang lebih naif lagi yaitu berusaha menghapus bentuk kebudayaan itu karena berada di medan paradoks hidup bermasyarakat karena di tengah situasi masyarakat yang sebagain besar warganya dilanda kemiskinan, belis dari tahun ke tahun semakin mahal bahkan terjerumus dalam hukum permintaan dan penawaran seperti yang terdapat dalam dunia pasar.

Sehingga tulisan ini pun berangkat dari kegelisahan yang sama. Sebuah kegelisahan atas budaya yang semula menawarkan nilai yang berharga dan sekarang berubah menjadi momok yang memuakan bagi sebagian masyarakat. Gugatan-gugatan untuk memusnakan budaya itu pun kian menjadi-jadi.


Tulisan ini membawa ketegangan berpikir antara budaya yang membebaskan berupa penghargaan atas diri manusai dan budaya yang mengekang hidup manusia berupa model baru “penjualan manusia” yang lagi marak terjadi dewasa ini. Mungkin istilah “human trafficking” ini sangat mengenaskan bahkan menyakitkan sebagian orang yang masih mengagungkan budaya ini. Untuk meredam rasa amarah yang kian membeludak, maka saya harus menambahkan kata “terselubung” untuk memaknai kata trafficking secara halus dan tidak melukai perasaan.

Mengapa harus disebut bentuk baru penjualan manusia yang terselubung? Mungkin itu yang harus di kaji. Oleh karena setiap pernyataan harus disertai argumentasi yang logis, benar dan jujur. Untuk menjawab pertanyaan ini, saya harus kembali ke kegelisahan utama saya dan apa yang sedang saya geluti. Sekarang saya sedang bergulat dengan nilai. Nilai inilah yang diidambakan dan dipegang erat serta dicari oleh sejuta manusia yang sedang memaknai hidup. Budaya belis mendapat gugatan justru karena budaya yang semula meneteng nilai yang begitu indah malah jatuh dalam suatu bentuk nilai baru yang sangat artifisial dan untuk memenuhi hasrat manusia untuk semakin memiliki harta yang melimpah*** (bersambung)

Mengugat Belis di Manggarai Raya (2)

Besarnya Belis tergantung Pendidikan dan ”kasta” Orang Tua

Semula belis itu dibayar dengan hewan-hewan peliharaan, sekarang dibayar dengan menggunakan uang. Hal ini benar karena alasan praktis di mana manggarai kekurangan hewan untuk membayar dengan cara demikian dan juga berhadapan dengan sebuah jaman di mana uang sudah “nyaris” menjadi segala-galanya untuk transaksi pembayaran. Tidak ada lagi sistem barter. Lalu di manakah letak kengawurannya yang menyebabkan nilai belis yang indah dan luhur itu terkoyak?

Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana tegangnya para tongka (jubir) untuk menentukan jumlah belis yang hendak dibayar. Tragis, karena di sana terjadi transaksi berupa tawar menawar seperti menawar barang-barang kebutuhan di pasar. Padahal acara ini menyangkut pribadi manusia yang hendak hidup bersama sehati sejiwa dan sampai mati. Nasib dan masa depan manusia digadai dengan harta. Kemudian hal lain lagi adalah melajangnya seorang gadis seumur hidup karena orang tua dari si gadis itu menetapkan standar yang tinggi untuk belis. Sekali lagi, ini sebuah ketragisan dalam memaknai budaya.

Kenyataan ini sama seperti meng-iklan-kan anak kandungnya sendiri dan siapa cepat dia dapat. Walaupaun akhirnya tetap tidak ada yang berani meminangnya. Dasar dari semuanya ini adalah tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan si gadis itu, maka semakin besar juga standar belis yang dipakai. Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah komentar yang menarik di sebuah jejaring pertemanan facebook dalam sebuah diskusi kecil seputar belis. Dia mengatakan demikian bahwa hati-hati mengambil isteri yang lulusan sarjana di manggarai karena harga belisnya kalah dengan harga mobil terano. Bayangkan seorang perempuan manggarai yang lulusan S1 belisnya bisa sebesar seratus juta dan bisa lebih.
Bentuk belis itu berbeda-beda. Jika anak pejabat dan dokter (red- disini profesi dokter dianggap profesi yang sangat terhormat, seperti punya “kasta” tersendiri, makanya para orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anaknya menjadi dokter), belisnya bisa mencapai 100 juta hingga 500 juta. Harga tersebut tidak akan turun, jika si keluarga pengantin pria tidak menunjukkan kerendahan diri ketika bernegosiasi dengan pihak pengantin perempuan.

Jika dia itu anak kelas bawah dan tergolong miskin sedangkan keluarga perempuan mengenal kapasitas kekayaan keluarga laki-laki, maka standarnya pun tinggi. Dan lebih parah lagi ketika permintaan itu tidak melihat kapasitas kekayaan dari pihak sebelah. Prinsipnya keluarga laki-laki memiliki kewenagan untuk membayar sejumlah uang ke keluarga perempuan. Dan unntuk menggenapi nas dari anak wina ini, si anak rona berusaha dengan berbagai cara bahkan dengan cara berhutang walapun keadaan ekonominya sangat meresahkan juga. Ini semua wajah buram belis manggarai yang harus dipikirkan kembali.

Kemudian, perlu ditambahkan pula kenyataan bahwa acara-acara adat sering menghabiskan banyak waktu, yang "tidak seharusnya demikian" bila kita betul-betul menghargai waktu dan memahami makna dari upacara adat tersebut. Acara untuk memutuskan jumlah belis sampai pada pemberian belis itu membuang waktu yang sangat banyak. Kebanyakan masyarakat manggarai (penduduk desa) memang masih berpegang erat pada konsep tradisional tentang waktu, yang melihat waktu secara sirkular (melingkar); "waktu akan selalu terulang, waktu hari ini hanyalah pengulangan dari hari kemarin, dan waktu hari ini pun akan kembali terulang besok." Akibatnya kebanyakan masayrakat manggarai memang susah untuk "menang" dalam setiap persaingan di era global yang secara absolut menuntut penghargaan tinggi terhadap waktu serta efisiensitas dalam beraktivitas. Masih bisa dideretkan contoh-contoh lainnya yang memperlihatkan ketersandungan masyarakat pada pandangan adat dan budaya selain kepincangan dalam memaknai budaya belis.

Jika kebudayaan dijelaskan sebagai pembebasan diri dan aktualisasi potensi ke dalam dunia, maka dunia yang berubah pun meniscayakan perubahan kebudayaan. Dunia yang berbeda dengan hari kemarin menuntut wujud tanggapan (baca: budaya) baru yang juga berbeda dengan budaya hari kemarin, yang lebih sesuai dengan konteks hari ini, lebih mencerminkan kesadaran dan kemampuan manusia saat ini, dan yang merupakan wujud dialektika potensi manusia dengan konteks di sini dan masa kini. Wujud kebudayaan lama yang terbentuk karena konfrontasi orang-orang dulu dengan dunianya, yang tidak akomodatif lagi terhadap ekspresi diri manusia seutuhnya, mesti siap dibarui sehingga memungkinkan adanya perwujudan persona manusia yang utuh.

Apa yang dialami dan dibentuk "saat ini" memang tidak pernah terlepas dari apa yang yang telah dikondisikan sebelumnya (budaya sebagai warisan). Orang tidak mungkin hidup tanpa tradisi sama sekali. Suatu masa sejarah senantiasa merupakan kelanjutan dari masa sebelumnya. Akan tetapi, sejarah juga adalah pemutusan terhadap masa sebelumnya itu. Sejarah adalah kontinuitas dan diskontinuitas; kesinambungan sekaligus pemutusan. Demikianpun hakikat budaya dalam sejarah. Ia selalu merupakan kelanjutan dan pemutusan terhadap masa sebelumnya. Ketika ia dikatakan sebagai pemutusan terhadap masa sebelumnya, ia mengambil model yang berbeda dengan yang sebelumnya. Ia adalah bentuk kritis terhadap budaya sebelumnya itu. Akan tetapi, ketika ia dilihat sebagai kelanjutan dari budaya yang terbentuk sebelumnya, ia tidak terutama dilihat sebagai "produk" tetapi sebagai "bahan". Ia adalah bahan yang mesti terus dipermak sesuai dengan konteks sosial, politik, ekonomi ataupun geografis yang baru.

Budaya belis yang syarat akan hukum penawaran dan memiliki bentuk neo-human trafficking yang dilakukan secara terselubung, harus menerima kenyataan bahwa ia harus diobrak-abrik dan siap turun dari tahta kemapananya dan siap pula menerima bentuknya yang baru. Sebagaimana yang digagas oleh Dryarakara bahwa hendaknya budaya itu membebaskan dan tindakan membebaskan itu terletak dalam proses budaya yang memanusiawikan manusia (humanizing human) bukan dalam cirinya yang membuat manusia itu justru kehilangan jati dirinya di tengah budaya sebagai produk vitalnya sendiri.

Kalau dalam fenomena kebudayaan nasional itu ada yang bernama budaya nasional sebagai bentuk identitas nasional, maka dalam lingkup lokal pun terdapat budaya lokal yang menjadi dentitas daerah itu. Setiap organisme seyogyanya harus memiilki identitas sebagai cirinya yang khas dan menunjukkan keberadaanya sebagai entitas yang ada dan otonom. Budaya belis yang saya kaji dalam tulisan ini sudah menjadi identitas masyarakat manggarai. Identitas yang membuat orang memberikan deskripsi singkat atasnya. Mungkin apa yang hendak saya katakan ini tidak terlalu kuat sebagai acuan dalam argumentasi ilmiah. Paling tidak seperti itulah kenyataannya ketika saya bertemu dengan mereka yang mengenal manggarai dari permukaannya yaitu mereka yang hanya tahu bahwa manggarai itu terkenal dengan belisnya yang sangat mahal. Ketika orang mendengar nama manggarai (NTT), serentak orang berkata, oh… daerah yang belisnya sangat mahal itu ya? Inilah yang orang tahu tentang manggarai dan kenyataan ini adalah sebuah kebenaran yang tak terbantahkan.*** (Habis)

Kamis, 05 Agustus 2010

Kota Labuan Bajo, Dari Kota Wisata Menuju Kota Sampah


Sejumlah ruas jalan di kota Labuan Bajo penuh sampah. Karung sampah rumah tangga menumpuk di pinggir jalan. Sampah di bak-bak penampungan meluber hingga ke bibir jalan. Lalat berseliweran. Bau busuk menyengat. Tiga bulan terkahir, Labua Bajo seperti kota sampah

Tumpukan sampah berbulan bulan ditemukan kawasan pasar Impres Gorontalo, Tempat pelelangan Ikan (TPI) kampung ujung, pasar lama. ”Ini sampah sudah berbulan bulan belum diangkut. Sebelum-sebelumnya lancar. Petugas datang angkut. Biasanya seminggu sekali. Tapi kali ini sudah terlambat. Alasan apa, kita tidak tahu. Mungkin otonya macet,” kata seorang warga kampung ujung

Banyak warga kecewa dengan tidak terangkutnya sampah dalam kota labuan bajo. ketua asosiasi Tour and Travel (Asita) Theodorus hamun misalnya mengaku kesal melihat sampah yang bertumpuk berbulan bulan di bak bak penampungan dan berserakan di sejumlah ruas jalan. ”sangat ironis dengan sebuah kota pariwisata. Saya tidak mengerti dengan kondisi ini. Apakah pemkab menyadari ini atau tidak” keluhnya

Menurut Hamun kawasan kampung ujung hingga kampung air dan kawasan gorontalo adalah kawasan yang selalu di lintasi wisatawan. Sangat disayangkan kalau tamu tamu asing ini berjalan diatas ruas jalan yang jorok, banyak sampah dan menghirup bauk busuk. Sunguh sangat tidak etis menurut Hamun ”kita mengundang orang untuk datang melihat obyek wisata di manggarai barat dan yang pertama disunguhkan adalah tumpukan sampah. Jelas banyak wisatawan tidak betah nyinap lebih lama di Labuan bajo” ungkapnya

Keluhan yang sama juga diungkapkan Direktris PT. Getrudis, Getrudis Naus. Menurut dia Kota labuan bajo yang dikenal dengan kota Wisata sudah berubah menjadi kota sampah dan kota ternak. ”dimana mana ada sampah dan hewan ternak berkeliaran sembarangan. Sangat disayangkan” keluhnya.

Camat Komodo Idris Epang justru cuci tangan. Menurut penjabat yang baru beberapa bulan dilantik menjadi camat ini menegaskan tangungjawab kebersihan kota masih belum jelas menjadi tangungjawan instansi mana. Menurutnya harus dibagun kesepahaman lagi anatar badan lingkungan hidup, Dinas pekerjaan umum (PU) an pihak kecamatan komodo. ”Memang selama ini kebersihan kota labuan bajo dilakukan oleh pasukan kuning yang sementara ada di bawah kecataman komodo. Tapi sebetulnya belum jelas. Harus ada koordinasi antara PU, badan Lingkungan Hidup dan Kecamatan komodo” ungkapnya

Tidak terangkutnya sampah selama beberapa bulan terakhir menurutnya karena persoalan armada pengangkut dan kekuatan tenaga pasukan kuning. Armada berupa kenadaraan pengakut kata Ebang sudah mulai rusak dari 3 kendaraan yang berfungsi cuman satu kendaraan, dan kaang sering masuk bengkel. Sementara biaya perbaikan sejumlah armada ini sangat terbatas bahkan tidak mencukupi.

Lebih lanjut Ebang yang ditemui di ruang kerjanya beberapa waktu lalu mengungkapkan banyaknya sampah berserakan di ruas jalan juga karena faktor kesadaran warga yang masih suka membuang sampah di sembarang tempat. Tong tong sampah yang sudah disiapkan oleh Badan lingkungan hidup nyaris tidak digunakan bahkan beberapa tong sampah tersebut sudah hilang dan mulai rusak.

Bagi Eabang kebersiahan kota labuan bajo menjadi tangungjawab bersama. Masayarakt mestinya sadar akan kebersiahn lingkungan minmal di lingkungan rumahnya masing masing. ”kebersihan kota labuan bajo tidak sepenuhnya menjadi tangunjwab pemerintah semata tapi semua pihak” ungkapnya

Pemerhati pariwisata Paulus Boleng, ketika berbincang bincang dengan Le Gola baru baru ini mengatakan Sampah dalam kota labuan bajo menjadi persoalan serius. Perkembangan wisata labuan bajo bisa tercoreng hanya karena tidak becus mengurus sampah. Persoalan sampah menurut Boleng mesti diperhatikan secara serius oleh pemerintahan Mabar 5 tahun kedepan. ”saya sangat mengharapakan kepemimpinan Gusti-Maxi serius memerangi sampah di mabar terutama dalam kota labuan bajo. jujur kalau mau di kata belakangan Kota Labuan bajo sangat memalukan. Tidak seperti yang di promosikan” ungkapnya

Penanganan sampah dalam kota labuan bajo diharapakannya dilakukan secara profesional. Sampah juga bisa dikelola menjadi uang. Disamping sampah bagi dia penting menata kembali kota. ”pembangunan yang bisa memberi rasa nyaman bagi warga dan terutama Wisatawan untuk tingal lebih lama di labuan bajo adalah harapan kita semua bisa terwujud dari pemerintahan yang mendapat dukungan mayoritas warga mabar ini” harapnya***

Perpaduan Ego Idealist dan Ego Realist

Agustinus Ch Dula – Gasa Maximus

Pasangan Calon Bupati, Agustinus Ch Dula dan calon wakil Bupati Gasa Maximus dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten Manggarai Barat (Mabar) 3 juni lalu menang telak satu putaran. Pasangan yang didukung oleh parti PAN, Pelopor, PPDI, PKNU dan Demokrat ini meraih 31,15 persen dan mengangkangi pasangan lainnya. GustI bisa di bilang pasangan dinamis karena keduanya memiliki dorongan untuk berubah dan berorientasi kedepan. Keterbukaan pikiran yang dimiliki memudahkan keduannya untuk menerima ide ide baru. Keduanya suka berdialog dengan banyak orang.

Pandangan tentang kesetaraan manusia mengarahkan mereka untuk menghargai setiap orang dari berbagai kalangan. Dula yang progresif akan banyak menampung masukan dari berbagai pihak. Jika masukan itu dinilai baik, maka ia akan memakainya untuk melakukan perubahan. Maxi menghitung cermat setiap langka yang akan diambil. Dula yang idealistik akan diimbangkan dengan Maxi yang realistik.

Dari sifat mereka yang mementingkan intelektualitas dan ilmu pengetahuan, dapat di duga adanya kemungkinan bahwa langka langka yang akan diambil pasangan Dula dan Maxi adalah langka yang didasarkan pada penalaran dan argumentasi yang logis. Keduanya terbiasa mengunakan penalaran yang didasari oleh logika ilmiah. Perpaduan ini memungkinkan mereka untuk mengeluarkan program program yang berorientasi pada sebuah perubahan yang rasional yang tentu saja signifikan pengaruhnya pada kemajuan Kabupaten Manggarai Barat.

Kemampuan Maxi, memanfaatkan kesempatan untuk perbaikan mendapatkan pancingan dari kecentrungan Dula untuk menerima banyak ide. Maxi dapat menemukan banyak ide yang prospekti, relistik, dan menguntungkan. Maxi dapat berperan sebagai esekutif yang menyeimbangkan tuntutan tuntutan ideal dalam diri Dula agar lebih realistis untuk dijalankan.

Internalisasi nilai nilai agama, moral dan itelektual dalam diri Dula berperan besar membentuk dirinya cerdrung ingin mencapai yang ideal dan mengabaikan hal hal realistik yang menurutnya tidak mulia. Pengalaman Maxi selama menjadi pempimpun di beberapa dinas membuatnya lebih rasional melihat persoalan. Perpaduan kedua dapat menghindarkan mereka dari sifat mengawang awang dan sisi lain juga menjaga agar tindakan yang diambil tidak terlalu prakmatis serta tidak melulu berorientasi pada yang sekarang dan di depan mata. Pasangan ini akan cendrung memiliki orientasi ke depan sambil tetap menapak kaki ke Bumi, sehingga kemajuan dan perbaikan dapat berlangsung secara seimbang.

Pola penalaran Dula yang sistimatis dan kompleksitas pikiran yang tinggi mengarahkan Dula untuk selalu mempertimbangkan banyak hal dan terus menerus mau menerima masukan dari banyak orang. Kecendrungan ini menjamin lahirnya sebuah keputusan yang efektif dan memuaskan banyak pihak, tetapi tidak efisien karena membutukan waktu lama dan kecendrungan lambat dalam menghasilkan tindakan konkrit. Untuk mengatasi ini, sebenarnya Dula memiliki banyak perbendaharaan pengetahuan tentang program konkrit. Maxi cendrung realistik dan cepat mengambil keputusan dan kecendrungan ini dapat melengkapi kelemahan Dula. Ia mampu membantu Dula untuk membuat keputusan Realistik yang sesuai dengan tuntuan masyarakat Mabar. Jika dua kecendrungan ini dipadukan dan dikelola dengan baik, maka hasil pengambilan keputusan mereka efisien.

Kebutuhan aviliasi yang tinggi pada diri Dula akan mengarakan diriya untuk mau mendengar orang lain. Dula Bupati Mabar ke II, akan disenangi banyak orang dan mampu membina relasi dengan banyak pihak termasuk pihak di luar pemerintahan. Namun, kecendrungan ini bisa menjadi kelemahan buatnya sebab akan mengarahkan pada kepemimpinan yang tidak efisien. Karena dengan demikian akan banyak orang terlibat dalam pemerintahan Dula, tanpa kontrol yang cukup kuat. Maxi yang memiliki kebutuhan prestasi tinggi dapat membantu Dula untuk membuat rambu rambu yang menjaga konsistensi arah dan laju pemerintahan. Perpaduan yang baik dari kebutuhan aviliasi yang tinggi pada Dula dan kebutuhan prestasi Maxi, dapat menghasilkan pemerintahan yang efisien dengan arah yang jelas dan melaju cepat.

Koalisi dengan banyak pihak sangat mungkin dilakukan oleh Dula dan Maxi. Dula yang cendrung senang bekerjasama dan menyenangkan orang lain akan membuka kesempatan pada semua pihak untuk terlibat. Sementara Maxi cendrung melakukan koalisi dengan pertimbangan efiensi dan kemudahan pencapaian hasil yang lebih baik. Persoalannya mereka berdua bukan orang yang memiliki kontrol yang kuat.

Untuk menutupi kekurangan pemerintahan pasangan Dula- Maxi dibutukan komposisi kabinet yang terdiri dari orang orang tegas, namun loyal dan memiliki pemikiran sejalan dengan mereka berdua. Orang orang yang dapat membantu Dula dan Maxi untuk menetapkan secara tegas arah kebijakan dan menjaga laju pemerintahan yang stabil dan cepat. Dula dan Maxi perlu menentukan sejak awal batasan batasan kebijakan mereka. Pelaksanaan kebijakan itu dilapangan diserahkan pada mereka yang memiliki ketegasan dan loyalitas tinggi agar dapat terjamin jalannya sampai mencapi tujuan.

Perpaduan Dula dan Maxi memiliki banyak kekuatan, disamping kelemahannya, jika dikelola dengan baik dan dilengkapi oleh kabinet yang terdiri dari orang orang tegas, berkemampuan, loyal dan berorientasi pada perbaikan kesejahteraan rakyat akan menghasilkan pemerintahan yang efisien. Seperti gambaran pada pribadi yang sehat, Dula yang menjadi ego ideal yang mengikuti tuntutan tuntutan ideal semetara Maxi menyusaikan diri secara realistik dengan desakan kaadaan dan kebutuhan rakyat. Perpaduan optimal keduanya yang disertai dengan program yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rakyat, dalam pelaksanaannya sangat membantu Mabar menjadi sebuah kabupaten yang sejahtera.***

Sabtu, 12 Juni 2010

Demokrasi Kerumunan Pasar

Demokrasi di negeri ini merupakan praktik-praktik politik yang dijalankan di tengah kerumunan pasar. Politik diposisikan bagai pasar dan rakyat adalah kerumunan.
Komunikasi dan penentuan dua pemimpin negara (presiden dan wakil presiden) berlangsung bagai transaksi yang terjadi antara penjual-pembeli. Keriuhan kerumunan pasar itu terjadi dalam ritus politik lima tahun sekali, terutama pada masa kampanye dan pemungutan suara.

Mengapa politik di negeri ini seperti pasar? Dalam studi ekonomi, pasar adalah lokasi jual-beli barang dan jasa. Pasar, menurut Rebecca Blank (diulas LaRue Tone Hosmer dan Janet Elizabeth Bordelon, Is the Market Moral?, 2006), mempunyai lima asumsi dasar.

Pertama, individu-individu diasumsikan sekadar memburu berbagai kepentingan sendiri, memaksimalkan aneka keperluan mereka.
Kedua, perusahaan-perusahaan mengejar sejumlah kepentingan sendiri, memaksimalkan keuntungan.

Ketiga, tiap orang dianggap mempunyai informasi lengkap sehingga seluruh pertukaran berlangsung secara rasional.
Keempat, pemain pasar berjumlah banyak sehingga tidak ada individu dan perusahaan mendominasi permainan.

Kelima, perusahaan-perusahaan diasumsikan mengetahui dan memasukkan biaya-biaya eksternal (terutama kerusakan lingkungan dan risiko keselamatan produk/proses yang dibebankan kepada pihak lain tanpa kesepakatan) sehingga tidak ada satu perusahaan pun yang bebas membebani masyarakat.

Pasar politik

Itulah asumsi-asumsi dasar pasar ekonomi. Sementara pasar dalam ruang lingkup politik kita menunjukkan lima asumsi. Pertama, tiap individu politik mengejar kepentingan untuk mengoptimalkan kepentingan sendiri.

Kedua, partai-partai politik yang mengusung calon presiden-wakil presiden memburu kepentingan masing-masing untuk menggapai keuntungan tertinggi.
Ketiga, tiap orang tidak memiliki informasi lengkap sehingga transaksi politik yang terjadi berlangsung irasional.

Keempat, para pemain pasar berjumlah terbatas sehingga dominasi pihak satu atas pihak lain menjadi keutamaan.

Kelima, partai-partai politik sengaja tidak peduli dan tak sudi memasukkan biaya-biaya eksternal sehingga risiko politik terburuk dibebankan kepada rakyat.
Berisi kehampaan

Dalam ruang pasar perpolitikan ini, tidak lagi ada individualitas. Semua berubah menjadi sekadar kerumunan. Partai-partai politik pengusung calon presiden-wakil presiden begitu senang mengumbar agitasi dan propaganda. Demokrasi yang mengidealkan pasar terperangkap demagogi kasar. Itulah strategi untuk mendapat kekuasaan dengan menyerukan berbagai prasangka, ketakutan, emosi, dan harapan membubung tinggi kepada kerumunan. Aneka retorika beraroma populis dilancarkan meski semua hampa.

Bahkan, demokrasi ala kerumunan pasar itu dipahami para calon presiden-wakil presiden dan tim sukses secara naif. Mereka mengunjungi pasar-pasar tradisional. Menjumpai dan berjabat tangan dengan pedagang. Bercakap-cakap sebentar dan membeli dagangan sekadarnya ditunjukkan. Tujuannya adalah mencapai popularitas dalam kerumunan. Hal yang lebih menghebohkan ialah ada stasiun televisi yang selama masa kampanye menayangkan acara bertajuk Capres & Cawapres Turun ke Pasar. Bukankah ini membuktikan ada keterasingan politik amat besar dan tidak mudah dipecahkan?

Demokrasi ala kerumunan pasar memang menimbulkan kegairahan tersendiri. Seakan-akan perjumpaan calon presiden-wakil presiden dengan jumlah massa yang meraksasa mampu mengatasi keterasingan politik yang terjadi. Hal itu sebenarnya menunjukkan keanehan. Setidaknya, fenomena itu diungkap Fouad Ajami, profesor Kajian Timur Tengah Universitas Johns Hopkins, ketika menyoroti kerumunan yang menyambut Barack Obama dalam kampanye pilpres di Amerika Serikat (Obama and the Politics of Crowds, Wall Street Journal, 30/10/2008).


Ada keganjilan dan hal baru, kata Ajami, karena kerumunan bukan hal menonjol dalam perpolitikan Amerika. Gejala itu hanya terjadi dalam masyarakat Dunia Ketiga, misalnya Argentina, Mesir, dan Iran. Kerumunan memang mengesankan adanya kesetaraan. Namun, Ajami mengutip pendapat Elias Canetti (1905-1994), kerumunan sebenarnya didasarkan pada suatu ilusi kesederajatan. Dalam peristiwa itu, aneka perbedaan dienyahkan dan semua jadi sama. Itulah kepentingan bagi momentum yang diberkati, saat tak satu pun lebih agung dan lebih baik ketimbang yang lain, rakyat menjadi kerumunan.

Kerumunan memang mampu mengempaskan aneka perbedaan individual. Sebagaimana layaknya dalam arena pasar, individu-individu dalam domain demokrasi ini diperlakukan sebagai pembeli. Semua sama karena tidak ada lagi sekat- sekat derajat maupun pangkat. Namun, demokrasi ala kerumunan pasar tidak mampu menyembunyikan sisi keterasingan yang seharusnya diatasi komunikasi yang saling mengisi. Kerumunan pasar disatukan oleh irasionalitas dan hasrat menentukan pemimpin berdasarkan kalkulasi para penggemar yang menyukai tampilan permukaan tokoh-tokoh politik sebagai bintang-bintang pujaan.

Budaya massa

Di sini bisa dimaklumkan mengapa kandidat presiden-wakil presiden ditawarkan dalam budaya massa penuh kebisingan. Simak bagaimana iklan-iklan politik yang menyajikan calon presiden-wakil presiden dikemas bagai menawarkan komoditas yang dijual di pasar. Hal yang membedakan hanya pada slogan, jargon, tampilan visual, dan jingle yang didendangkan. Simak pula kampanye rapat umum yang disajikan secara kolosal. Semua hanya memuat banalitas (kedangkalan) politik yang ramai dirayakan.

Dalam situasi begini, layak menengok peringatan Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), ”Saat kesunyian berakhir, di situlah pasar dimulai; dan ketika pasar dimulai, di situ pulalah kegaduhan aktor-aktor besar serta dengungan lalat-lalat beracun terjadi”. Aktor-aktor besar itu tidak lain adalah kandidat presiden-wakil presiden yang sedang merebut perhatian dan merampas kebisuan massa. Lalat-lalat beracun adalah agitasi dan propaganda yang mengerumuni kesadaran mereka.
Jadi, pemenang calon presiden-wakil presiden adalah figur-figur yang mampu menaklukkan kerumunan pasar. Tidak peduli ada yang dicurangi. Semua tertelan dalam hiruk pikuk kerumunan pasar.

Manusia Kartun Republik Indonesia

Presiden Barack Obama memuji ketangguhan bangsa Indonesia dalam menghadapi bencana, termasuk gempa besar di Sumatera Barat. Pasti itu bukan pujian basa-basi mengingat Obama relatif paham soal karakter bangsa kita karena pernah hidup di Jakarta.
Bangsa ini sudah cukup lama diguncang gempa, baik gempa denotatif berskala Richter maupun gempa konotatif: gempa politik, gempa sosial, gempa ekonomi, dan gempa budaya. Gempa konotatif jauh lebih rutin dan panjang daripada gempa denotatif yang datang secara berkala, sesuai dengan hukum alam. Jika bangsa kita tidak tangguh, mana mungkin ”tahan” diguncang gempa penjajahan Belanda selama 350 tahun dan Jepang selama 3,5 tahun.

Warisan penderitaan itu pula yang menjadikan bangsa kita ”membiarkan” Orde Baru-Soeharto mampu menciptakan ”gempa” selama 32 tahun. Dalam rentang waktu yang lumayan menyesakkan itu, Orde Baru-Soeharto mampu membelokkan dinamika sosial-politik-ekonomi negeri ini yang semula berciri kerakyatan, sipil, dan antimodal asing menjadi elitis, militeristis, dan promodal asing (Baskara T Wardaya, Kompas, 30/9).

Arus utama yang dibangun Orde Baru-Soeharto itu masih mendominasi hingga kini, di mana ekonomi kapitalistik neoliberal mengatur setiap tarikan napas kita. Akibatnya, bangsa kita semakin kehilangan kedaulatan dan negara lebih berperan sebagai ”panitia” pasar bebas.

Mereka yang prosistem ekonomi dan politik liberal mungkin menganggap kondisi sekarang ini merupakan pencapaian bangsa yang ”gilang-gemilang”. Kalau toh kemiskinan dan kebodohan masih menganga, itu karena ”kesalahan rakyat sendiri yang tidak pintar dan kaya”.

Mereka lupa bahwa kemiskinan dan kebodohan adalah anak kandung sistem yang tidak distributif sehingga aset dan akses menggumpal hanya di lingkaran kekuasaan yang terbatas dan tertutup. Inilah kondisi yang oleh Mahatma Gandhi dianggap bertentangan dengan ukuran ideal suatu negara. Menurut Gandhi, ukuran kebesaran suatu negara harus didasarkan pada betapa pedulinya negara kepada rakyatnya yang paling lemah (Indra Gunawan M, Kompas, 30/9).

Manusia akrobatik

Hidup di Indonesia yang akrab dengan bencana gempa politik, ekonomi, sosial, ekonomi, dan budaya harus siap terhadap dua pilihan yang sama-sama ekstrem. Pertama, menjadi manusia kartun. Kedua, menjadi manusia akrobatik. Menjadi manusia kartun berarti harus memiliki ketahanan dan daya banting yang luar biasa. Rumusan ini diambil dari analogi tokoh-tokoh kartun yang tidak ada matinya meskipun dibenturkan, dilemparkan, digilas, ditindas, dijatuhkan, ditikam, dan ditenggelamkan. Hanya sebentar saja tokoh kartun itu tampak ringsek, tetapi segera menjelma menjadi ”manusia perkasa” dan siap bertarung lagi.

Manusia kartun tidak mengenal sakit karena dirinya adalah kesakitan itu sendiri. Ia juga tidak bisa sedih karena ia adalah kesedihan itu sendiri. Terhadap semua kesedihan dan penderitaan, ia sudah mencapai posisi transendental alias ”mengatasi”.
Rakyat kita telah menjelma menjadi manusia kartun. Dihajar oleh keadaan apa pun, rakyat kita tetap bertahan dan sukses menjalani kodrat sebagai manusia tangguh. Ketangguhan menjadi pilihan satu-satunya karena bangsa kita tidak punya pelindung untuk dimintai pembelaan atau pengayoman. Rakyat kita memang secara formal memiliki wakil-wakilnya di parlemen, tetapi kebanyakan mereka ”kurang memahami” rakyat dan menganggap menjadi anggota parlemen sebagai karier politik an sich yang menjanjikan perolehan material.

Rakyat juga punya pemimpin, tetapi umumnya pemimpin yang ada kurang menjiwai hakikat kepemimpinan, yakni sebagai pelayan publik. Maka, satu-satunya pilihan bagi rakyat adalah berupaya sendiri dengan menjelma menjadi manusia kartun yang tahan banting dan ”tidak ada matinya”.

Sedangkan manusia akrobatik meniscayakan kepiawaian untuk menyiasati keadaan dengan cara-cara kompromi terhadap kekuasaan. Karena itu, manusia akrobatik harus memiliki banyak jurus dan aksi-aksi akrobatik, baik melalui gagasan/wacana maupun tindakan yang—meminjam istilah Gramsci—mengagungkan kekuasaan secara politik maupun ekonomi.
Sejurus dengan hal itu, manusia akrobatik harus menjadi manusia partisan: membela kepentingan kekuasaan yang dominan. Di sini dibutuhkan kapasitas sebagai ”jawara”, bukan pendekar. Pendekar, dalam leksikon jagat persilatan, selalu membela yang lemah dan dilemahkan kekuasaan. Sedangkan ”jawara” selalu membela kepentingan kekuasaan. Pendekar selalu bersikap oposisi terhadap kekuasaan yang dianggap menyimpang. Sedangkan ”jawara” selalu kompromi karena orientasi hidupnya hanyalah materi dan kenikmatan hidup, bukan nilai.

Maka, semakin banyak orang berbondong-bondong menjadi manusia akrobatik dan berharap menjadi ”jawara”. Sementara itu, kini manusia berkapasitas pendekar yang tahan banting makin langka.

rahasia pribadinya


Dunia sudah berubah. Dulu, orang sekuat tenaga membentengi rahasia pribadinya. Sekarang, orang sukarela membukanya melalui televisi. Urusan perjodohan, perselingkuhan, sampai konflik rumah tangga pun mendominasi layar kaca.
Nyalakan televisi Anda dan Anda akan menemukan acara-acara yang mengulas urusan pribadi. Infotainment mengabarkan perceraian pesohor. Reality show membeberkan perselingkuhan dan konflik rumah tangga. Talk show lepas tengah malam membahas urusan tempat tidur.
Masalah pribadi menjejali layar kaca. Sebuah fenomena yang 5-10 tahun lalu mungkin tidak terlintas dalam benak sebagian besar orang Indonesia. Gilanya, sebagian orang memublikasikan urusan pribadinya ke layar kaca secara sukarela.
Tengoklah acara Masihkah Kamu Mencintaiku di RCTI. Dalam acara ini, sepasang suami istri buka-bukaan persoalan rumah tangganya di depan orangtuanya, mertuanya, penonton di studio, dan jutaan pemirsa televisi. Kadang persoalannya begitu pribadi, misalnya, menyangkut ketidakpuasan suami atas layanan istri.
Ada juga Take Me/Him Out Indonesia di Indosiar. Ini semacam acara kontak jodoh produksi Fremantle Media yang lisensinya dibeli Indosiar. Dalam setiap episode Take Me Out, ada 30 perempuan dan 7 laki-laki berusia 20-40 tahun yang mencari jodoh. Untuk Take Him Out, jumlahnya dibalik, 30 laki-laki dan 7 perempuan.
Rabu (7/10) malam, di balik panggung acara Take Me Out, sejumlah perempuan berdandan menor, berpakaian bagus, berparfum wangi, dan bersepatu tumit tinggi tampak agak gugup menanti waktu shooting. Sebagian mengalihkan kegugupannya dengan mengisap rokok.
Ketika shooting dimulai, muncullah pria bernama Rian (24) di panggung. ”Saya masih muda dan cukup mapan. Sekarang saatnya saya mencari pasangan,” ujar Rian memperkenalkan diri.
Laki-laki itu mengaku berprofesi sebagai broker dan pada waktu senggang kerap tampil sebagai disc jockey (DJ) di pesta-pesta pribadi.
Perkenalan singkat itu menarik hati Sofie, salah seorang dari 30 peserta perempuan. Tandanya sederhana saja: keduanya tidak mematikan lampu di mejanya.
”Apa yang membuat Anda tertarik kepada Rian?” tanya pemandu acara, Choky Sitohang, kepada Sofie.
”Lucu. Hidungnya gede, hokinya pasti gede,” jawab Sofie diikuti senyum. Penonton di studio pun tertawa.
Yuanita justru memilih mematikan lampu, tanda tidak tertarik. Alasannya, ”Buat jadi pacar enggak deh. DJ itu kan banyak ceweknya.”
Begitulah. Pada 5-10 tahun yang lalu kita mungkin tidak berpikir ada orang yang berani mencari jodoh lewat acara televisi dengan risiko cintanya ditolak dan penolakan tersebut disaksikan jutaan orang di Indonesia.
Apa yang membuat mereka nekat mengikuti acara seperti ini? Cecile (38), janda dua anak, mengaku serius mencari pasangan hidup. Karena itu, ia tidak ambil pusing ketika teman- temannya menghujatnya lantaran mengikuti Take Me Out.
”Saya enggak malu. Saya ikut acara ini karena didaftarkan anak saya. Mungkin mereka kasihan melihat saya sendirian,” kata Cecile yang malam itu ditemani dua anaknya, Javi (15) dan Erick (13).
Wisnu Prasetyo (20), pelaut, awalnya agak malu mencari jodoh lewat acara televisi. Namun, dorongan untuk mendapatkan pasangan meredam rasa malunya. ”Alhamdulillah, saya bisa bertemu Tari melalui acara ini,” kata Wisnu sambil melirik Tari.
Tari yang ada di sebelahnya tersipu malu. ”Kalau saya, awalnya ikut acara ini karena ingin eksis. Kalau ternyata dapat pasangan, itu bonus,” ujar mahasiswi perguruan tinggi swasta dan penyanyi dangdut yang pernah menembus 26 besar Kontes Dangdut TPI ini.
Buat Tari, eksistensi di layar kaca itu penting buat orang yang ingin terjun ke dunia pertunjukan. Jika tampil di televisi, ia akan dilirik orang. Perkiraannya tidak salah. Melalui Take Me Out, ia tidak hanya bertemu Wisnu, tetapi juga mendapat tawaran casting film televisi.
Mungkin itu sebabnya sebagian peserta semangat sekali jika diminta tampil nyanyi atau ajojing di atas panggung sebab ini kesempatan langka.
Tersembunyi
Terlepas dari motif peserta yang beragam, acara itu digemari banyak orang. Public Relation dan Promotion Fremantle Media di Indonesia, Afni Sasmita, mengatakan, setiap minggu sekitar 150 orang mendaftar untuk audisi acara ini. Acara itu juga ditonton rata-rata 30 persen pemirsa televisi.
Sukses Take Me/Him Out kian menegaskan, acara yang mengungkap urusan pribadi disuka pemirsa televisi. Infotainment dan reality show model Termehek-mehek (TransTV) sudah lebih dulu membuktikannya.
Mengapa pemirsa suka mengintip urusan pribadi orang lain? Hamdi Muluk, Kepala Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, mengatakan, urusan pribadi adalah dunia yang tersembunyi. ”Ketika dunia tersembunyi itu diungkap, orang pasti suka. Semakin tersembunyi, semakin orang tertarik. Secara psikologis orang senang membandingkan perilakunya dengan perilaku umum,” katanya.
Persoalannya adalah dunia tersembunyi ini sekarang menjadi komoditas unggulan televisi. ”Ini berbahaya sebab orang digiring setiap hari untuk melihat sesuatu yang dangkal. Kalau begini terus, kita menjadi bangsa yang bebal,” katanya.

Sabtu, 20 Februari 2010

FP dan KR mungkin lolos lagi di pilbub M’rai 2010

Semua kita tahu kalau thn 2010 ini akan ada pemilu bupati Mateng dan Mabar yang saat ini sedang dipimpin oleh Kris Rotok dan Fidelis Peranda, dan keduanya ini masih mau cabup untuk periode lima tahun mendatang. Jika duit berperan, mari kita coba beranda-andai anggaran yang dikeluarkan oleh seorang cabub untuk jumlah konstituen mayoritas yg menerima uang yang bakalan memenangkannya pada hari pemilu.

Katakan untuk satu kabupaten (Mabar atau Mateng) ada pemilih 110.000. Target menang 60%, berarti cabub terpilih harus meraup suara 60% x 110.000,-=66. 000 pemilih. Taruhlah satu suara Rp.50.000, maka si cabub mengeluarkan dana 66.000,- x Rp.50.000,-= Rp.3,3 milyar,- . Belum termasuk transportasi (bemo atau oto colt) dan makan siang pada hari pemilu. Jika makan siang Rp.15.000/org maka dana konsumsi 66.000 x Rp.15.000,- = Rp.990 juta. Ya, pukul rata total Rp.4,5 s/d 5 milyar pada hari pemilu.

Ini pengeluaran wajar untuk konstituen yang diperkirakan memilih cabub tsb. Selain itu, para pemilih ini tidak dikenal oleh cabup itu sendiri, karena ia hanya mengenal calo-nya saja, sehingga jaminan kepastian 66.000 suara tidak ada. Bisa saja para pemilih tidak memilih cabub bersangkutan, karena uangnya belum diterima, alias masih berada di calo atau ditelan calo, atau uangnya sudah diterima tapi kurang, atau diterima lengkap tapi tetap tidak memilih cabub ybs.

Pengeluaran lain : biaya saksi, penggalangan masa dan konsumsi untuk kampanye, biaya loby cecop sana cecop sini, yang jumlah uang tunainya diperkirakan 2 sd 5 milyar rp. Jadi total seluruhnya kurang lebih 7 sd 8 milyar. Ini jumlah minimal. Kalau mau sedikit diatas minimal, ya, sd 10 milyar rp. Kalau cabub itu berhasil lolos, maka dia tentu memikirkan pengembalian biaya-biaya itu; kalau dia tidak lolos dan ternyata memakai dana pinjaman, oaduhhh…cilaka! Bisa-bisa wedol!
Kalau cabup yang tidak punya dana untuk konstituen seperti tersebut diatas, maka ia tentu terkejut bila hasil saat penghitungan suara ternyata mayoritas masyarakat, 66.000, memilihnya. Mudah2an ini terjadi. Sebaliknya kalau tidak terpilih, dia akan tetap senyum, tidak wedol.

Bila rakyat pemilihnya memilih cabub demi butuh uang sesaat, dan bila cabub yang masih menjabat sekarang ini mampu dan mau untuk biaya-biaya pengandaian tersebut diatas, ditambah dukungan relasi politik yang mereka bangun sebelumnya, boleh jadi FP akan memimpin kembali Mabar, demikian pula Kris Rotok di Manggarai Tengah. Tambahan pula kondisi rakyat (konstituen) yang tidak berubah, yg tidak merasakan ada pemerintahan baru karena pemekaran, maka tentu mereka tertarik untuk bertransaksi “menusuk gambar yang ditunjuk calo untuk dapat 50 ribu rp, apa sih susahnya!” Kecuali kalau ada cabup selain mereka yang berani berkompetisi soal dana dan konstituen seperti itu mau beralih, maka stop-lah si FP dan KR thn 2010 ini.

Tapi rakyat tentu diharapkan tidak tertarik ke hal-hal teknis itu. Yang terpenting adalah : kepemimpinan bupati itu nanti meletakkan dasar pembangunan yang berpihak pada rakyat; yaitu adanya perubahan dan peningkatan kehidupannya, perlindungan hak-hak hukumnya, serta keberlangsungan hidup generasi selanjutnya dalam jangka panjang, bukan saja dalam periode masa jabatan bupati yg singkat itu.. Dilihat dari gencarnya pembukaan tambang di lahan kawasan hutan oleh kedua pemimpin selama ini, atau membiarkan pembukaan tambang dengan alasan sebagai kelanjutan dari keputusan bupati sebelumnya ( alasan Kris Rotok); dan dampak negatip jangka panjang bagi terbatasnya lahan kehidupan orang Manggarai di kemudian hari, sebaiknya rakyat jangan memilih kedua orang ini untuk bupati periode mendatang. Kalaupun mereka komit sekarang untuk stop tambang, tampaknya mereka juga tidak bisa merealisasikan penghentikan tambang itu nanti, karena mereka dan pengusaha tambang itu sendiri sepertinya ibarat nasi sudah jadi bubur. Kalau mereka lolos lagi jadi bupati thn 2010 ini, maka mereka adalah bupati tambang M’rai yang kekuasaannya tak tergoyahkan. Apakah ada orang M’rai yang dapat secara konkrit menahan laju kekuasaan mereka? Atau sebatas gonggong?

Laporan tentang Pelanggaran Hukum Dalam Kawasan Hutan Lindung RTK 103

Nomor: 001/KPKC-SVD/RTG/I/2010
Perihal: Laporan tentang Pelanggaran Hukum
Dalam Kawasan Hutan Lindung RTK 103
Lamp. : 1 (satu berkas)

Kepada Yth.
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Departemen Kehutanan Republik Indonesia
Di
Tempat


Dengan hormat,
Memperhatikan fakta lapangan dan data administratif yang berkaitan dengan eksploitasi mineral mangan di kawasan Soga (Torong Besi) desa Robek Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai oleh PT Sumber Jaya Asia (PT SJA) sesuai SK Bupati Nomor: HK/287/2007 tanggal 5 Oktober 2007 (Lampiran 1) maka, Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan/Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) Kongregasi SVD Ruteng, melaporkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Bahwa pada tanggal 29 Mei-10 Juni 2008, JPIC OFM Indonesia dan JPIC SVD Ruteng beserta jaringan melakukan investigasi tentang pertambangan di wilayah Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur.
2. Bahwa dalam investigasi itu JPIC OFM Indonesia dan JPIC SVD Ruteng beserta jaringan, menemukan fakta bahwa eksploitasi mineral Mangan oleh PT SJA di kawasan Soga (Torong Besi) desa Robek Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai telah masuk ke dalam kawasan hutan lindung (Nggalak Rego) RTK 103.
3. Bahwa masa berlakunya Ijin Kuasa Pertambangan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi Republik Indonesia (SK Menteri Nomor: 1546.K/2014/MPE/1997, KW 96PP0208) telah berakhir pada 14 Mei 2008 sebagai dijelaskan oleh Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral dalam surat Nomor 654/40.00/DJG/2005 (Lampiran 2)
4. Bahwa JPIC OFM Indonesia dan JPIC SVD Ruteng beserta jaringan telah melaporkan temuan tersebut kepada Bupati Manggarai pada tanggal 11 Juni 2008 dan bahwa Bupati berjanji akan mempelajari temuan tersebut dan akan menghentikannya apabila kegiatan pertambangan telah merambah kawasan hutan RTK 103.
5. Bahwa Bupati Manggarai, telah mengeluarkan surat penghentian sementara aktivitas pertambangan kepada PT SJA sebanyak dua (2) kali, (Nomor: 598/Tamben/VI/2008 tanggal 16 Juni 2008 dan Nomor: 711/Tamben/VIII/2008 tanggal 25 Agustus 2008; Lampiran 3) dan memerintahkan agar semua alat berat harus dikeluarkan dari lokasi pertambangan serta meminta PT SJA untuk mengurus Ijin pinjam pakai kawasan kepada menteri Kehutanan, karena PT SJA belum mempunyai Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Dinas Kehutanan Manggarai pun telah mengeluarkan surat perintah penghentian sementara kepada PT SJA, melalui surat Nomor: DK.522/167/VI/2008, tanggal 18 Juni 2008 (Lampiran 4).
6. Bahwa pada tanggal 5 Desember 2008 JPIC OFM Indonesia telah mengadukan penambangan mineral mangan dalam kawasan hutan lindung RTK 103 oleh PT SJA tersebut kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia.
7. Bahwa menanggapi pengaduan JPIC OFM Indonesia tersebut di atas, Menteri Kehutanan Republik Indonesia melalui Surat Nomor: S.40/Menhut-VII/2009, tertanggal 27 Januari 2009 (Lampiran 5), telah menyampaikan hasil audiensi dengan utusan JPIC OFM Indonesia kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur dan meminta Gubernur untuk melakukan tindakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal-hal yang disampaikan Menteri Kehutanan adalah sebagai berikut:
a. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, bahwa setiap kegiatan survey/Eksplorasi/Eksplotasi Tambang di dalam kawasan hutan harus didasarkan izin Pinjam Kawasan Hutan dari Menteri Kehutanan.
b. Pelanggaran terhadap butir (a) merupakan pelanggaran dengan ancaman pidana. Pada hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Kuasa Pertambangan A.n.PT Sumber Jaya Asia bukan merupakan bagian dari 13 (tiga belas) Izin di bidang pertambangan sebagaimana ditetapkan dalam Kepres No.41 Tahun 2004.
c. PT. Sumber Jaya Asia tidak memiliki Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dari Menteri Kehutanan.
8. Bahwa PT Sumber Jaya Asia telah meminta Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan kepada Menteri Kehutanan, melalui surat Nomor: 0019/SJA/2008 tanggal 24 November 2008 (Lampiran 6). Seluruh lampiran yang disertakan sebagai dokumen persyaratan pinjam kawasan menunjukkan bahwa kawasan hutan Soga RTK 103 adalah hutan lindung.
9. Bahwa Menteri kehutanan melalui Surat Nomor: S.41/Menthut-VII/2009 tanggal 27 Januari 2009 (Lampiran 7), telah secara tegas menolak permohonan pinjam pakai kawasan yang diajukan oleh PT SJA. Penolakan tersebut didasarkan pada Pasal 38 ayat (4), Pasal 50 ayat (3) dan Pasal 78 ayat (6) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan , bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.
10. Bahwa Hasil Klarifikasi dari tim gabungan antar dinas/badan teknis dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Cabang Ruteng menunjukkan bahwa BENAR PT SJA telah masuk ke dalam kawasan hutan lindung RTK 103, sebanyak 44,82 ha (Lampiran 8).
11. Bahwa Bupati Manggarai melalui SK Nomor:HK/72/2009 telah mencabut kuasa pertambangan di kawasan hutan RTK 103 yang pernah diberikan kepada PT SJA melalui SK Nomor:HK/287/2007 (Lampiran 9).
12. Bahwa karena SK penciutan kuasa pertambangan tersebut, PT SJA menggugat SK bupati tersebut di Pengadilan TUN Kupang, dan bahwa Hakim Pengadilan TUN Kupang yang telah memeriksa perkara tersebut dan memenangkan PT SJA dalam putusannya Nomor: 6/G/2009/PTUN-KPG, tanggal 28 Juli 2009
13. Bahwa karena putusan PTUN tersebut, Pemkab Manggarai mengajukan Banding ke PTUN Tinggi di Surabaya, dan PTUN Tinggi Surabaya pun memenangkan PT Sumber Jaya Asia melalui putusan Nomor: 122/B/2009/PT.TUN.SBY tanggal 23 Oktober 2009.
14. Bahwa karena putusan PTUN Tinggi tersebut, Pemkab Manggarai mengajukan kasasi ke Makamah Agung, di Jakarta, yang hingga laporan ini dibuat belum ada putusannya.
15. Bahwa sementara itu, 8 warga Robek, desa Robek, Kecamatan Reok Kabupaten Manggarai, yang mengambil kayu dari kawasan hutan yang sama (RTK 103) untuk pembangunan gedung Sekolah Menengah Pertama di Desa Robek tersebut telah ditangkap dan ditahan oleh aparat penegak hukum. Dua (2) dari 8 orang tersebut telah dijatuhi hukuman pidana kurungan 1 tahun dan 6 bulan (Lampiran 10)
16. Bahwa pada tanggal 6 Oktober 2009, Tim JPIC OFM dan JPIC SVD Ruteng kembali mengunjungi kawasan tambang Soga, dan bahwa dalam kunjungan itu Tim JPIC OFM dan JPIC SVD Ruteng menemukan fakta bahwa ekploitasi mineral Mangan di kawasan hutan lindung RTK 103 semakin luas dan menimbulkan kerusakan yang sangat parah. Tim Menyaksikan bahwa eksploitasi mineral Mangan di kawasan tersebut telah mencapai air bawah tanah (Lampiran 11)
Berdasarkan fakta tersebut maka kami menyampaikan hal-hal berikut:
1. Bupati Manggarai dan Direksi PT SJA harus dimintakan pertanggungjawaban hukumnya karena kedua pihak, menurut penilaian kami, terbukti melanggar hukum. Bupati Manggarai terbukti telah menyalahgunakan kewenangannya dengan memberikan ijin Kuasa Pertambangan pada areal hutan lindung yang jelas-jelas dilarang oleh undang-undang. Begitu pula PT SJA sebab sebuah perusahaan tambang sudah sepatutnya sejak awal sudah mengetahui mana areal bebas (boleh menjadi areal tambang) dan mana areal hutan lindung yang jelas-jelas pada areal tersebut ada larangan untuk menambang [Vide: Pasal 38 (ayat 3), Pasal 50 (ayat 3) UU No.41 Tahun 1999].
2. Larangan menambang di hutan lindung dikecualikan terhadap perusahaan-perusahaan tambang yang memang telah mendapat ijin pinjam pakai kawasan hutan lindung dari Menteri Kehutanan. Bahkan ternyata operasi tambang pada areal hutan lindung itu mempunyai dampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis, maka disyaratkan adanya persetujuan DPR RI (Vide: Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2008 tentang Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Lindung).
3. Berdasarkan PP No.1/2004 yang telah diubah dengan PP No.2/2008 tersebut, hanya ada 13 (tiga belas) perusahaan tambang yang secara limitatif telah diberi ijin oleh pemerintah untuk beroperasi di hutan lindung. Ke-13 perusahaan tambang dimaksud adalah: (1) PT Freeport Indonesia; (2) PT Aneka Tambang; (3) PT Karimun Granit; (4) PT Inco; (5) PT Indominco Mandiri; (6) PT Natarang Mining; (7) PT Nusa Halmahera Mining; (8) PT Pelsart Tambang; (9) PT Interex Sacra Raya; (10) PT Weda Bay Nickel; (11) PT Sorikmas Mining; (12) PT Gag Nickel; dan (13) PT Aneka Tambang.
4. Berdasarkan penolakan Menteri Kehutanan tersebut maka melalui Surat No.B/80/II/2009/DitReskrim tanggal 11 Februari 2009, Kapolda NTT menyurati Kapolres Manggarai agar mengusut pelanggaran hukum terkait penambangan oleh PT SJA pada areal hutan lindung (Lampiran 12)
5. Yang terjadi bukannya pihak kepolisian mengusut pelanggaran Bupati Manggarai dan PT SJA tersebut yang terbukti telah melakukan pelanggaran hukum yaitu beroperasi di areal hutan lindung tanpa ijin dari pemerintah. Tetapi justru PT SJA yang menggugat Bupati Manggarai di PTUN Kupang. Jadi, dua pihak yang sama-sama melanggar hukum publik justru gugat-menggugat di PTUN Kupang. Maka ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah sandiwara untuk mengaburkan essensi pelanggaran hukum dimaksud.
6. Kami berpendapat bahwa telah terjadi ketidakadilan dalam penegakan hukum kehutanan di Manggarai, di mana masyarakat kecil yang melanggar hukum dengan mudah ditangkap, diadili dan dipenjarakan, tetapi para pemodal dan oknum pemerintah yang melanggar hukum proses hukumnya berbelit-belit sehingga mengaburkan esensi pelanggaran hukumnya.

Oleh karena itu, dengan hormat kami meminta Bapak Menteri Kehutanan, melalui Bapak Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam untuk mengambil langkah-langkah hukum yang tepat, memproses hukum semua pihak yang diduga telah melanggar hukum, terkait usaha penambangan Mineral Mangan yang dilakukan oleh PT Sumber Jaya Asia, di kawasan hutan Lindung RTK 103, desa Robek, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Demikian Laporan dan permintaan kami. Atas perhatian dan tanggapan Bapak Dirjen, terlebih dahulu kami haturkan terimakasih.


Ruteng, 18 Januari 2010
Komisi JPIC SVD Ruteng,
Koordinator,

P. Simon Suban Tukan, SVD
Tembusan:
Disampaikan dengan hormat kepada:
1. Menteri Kehutanan Republik Indonesia di Jakarta
2. Ketua Komisi III DPR RI di Jakarta
3. Kepolisian Negara Republik Indonesia di Jakarta
4. Jaksa Agung Republik Indonesia di Jakarta
5. Gubernur NTT di Kupang
6. Ketua DPRD NTT di Kupang
7. Kapolda NTT di Kupang
8. Kepala Kejaksaan Tinggi NTT di Kupang
9. Kepala Dinas Kehutanan NTT di Kupang
10. Kepala Balai Besar Konservasi Alam NTT di Kupang