Sabtu, 12 Juni 2010

Demokrasi Kerumunan Pasar

Demokrasi di negeri ini merupakan praktik-praktik politik yang dijalankan di tengah kerumunan pasar. Politik diposisikan bagai pasar dan rakyat adalah kerumunan.
Komunikasi dan penentuan dua pemimpin negara (presiden dan wakil presiden) berlangsung bagai transaksi yang terjadi antara penjual-pembeli. Keriuhan kerumunan pasar itu terjadi dalam ritus politik lima tahun sekali, terutama pada masa kampanye dan pemungutan suara.

Mengapa politik di negeri ini seperti pasar? Dalam studi ekonomi, pasar adalah lokasi jual-beli barang dan jasa. Pasar, menurut Rebecca Blank (diulas LaRue Tone Hosmer dan Janet Elizabeth Bordelon, Is the Market Moral?, 2006), mempunyai lima asumsi dasar.

Pertama, individu-individu diasumsikan sekadar memburu berbagai kepentingan sendiri, memaksimalkan aneka keperluan mereka.
Kedua, perusahaan-perusahaan mengejar sejumlah kepentingan sendiri, memaksimalkan keuntungan.

Ketiga, tiap orang dianggap mempunyai informasi lengkap sehingga seluruh pertukaran berlangsung secara rasional.
Keempat, pemain pasar berjumlah banyak sehingga tidak ada individu dan perusahaan mendominasi permainan.

Kelima, perusahaan-perusahaan diasumsikan mengetahui dan memasukkan biaya-biaya eksternal (terutama kerusakan lingkungan dan risiko keselamatan produk/proses yang dibebankan kepada pihak lain tanpa kesepakatan) sehingga tidak ada satu perusahaan pun yang bebas membebani masyarakat.

Pasar politik

Itulah asumsi-asumsi dasar pasar ekonomi. Sementara pasar dalam ruang lingkup politik kita menunjukkan lima asumsi. Pertama, tiap individu politik mengejar kepentingan untuk mengoptimalkan kepentingan sendiri.

Kedua, partai-partai politik yang mengusung calon presiden-wakil presiden memburu kepentingan masing-masing untuk menggapai keuntungan tertinggi.
Ketiga, tiap orang tidak memiliki informasi lengkap sehingga transaksi politik yang terjadi berlangsung irasional.

Keempat, para pemain pasar berjumlah terbatas sehingga dominasi pihak satu atas pihak lain menjadi keutamaan.

Kelima, partai-partai politik sengaja tidak peduli dan tak sudi memasukkan biaya-biaya eksternal sehingga risiko politik terburuk dibebankan kepada rakyat.
Berisi kehampaan

Dalam ruang pasar perpolitikan ini, tidak lagi ada individualitas. Semua berubah menjadi sekadar kerumunan. Partai-partai politik pengusung calon presiden-wakil presiden begitu senang mengumbar agitasi dan propaganda. Demokrasi yang mengidealkan pasar terperangkap demagogi kasar. Itulah strategi untuk mendapat kekuasaan dengan menyerukan berbagai prasangka, ketakutan, emosi, dan harapan membubung tinggi kepada kerumunan. Aneka retorika beraroma populis dilancarkan meski semua hampa.

Bahkan, demokrasi ala kerumunan pasar itu dipahami para calon presiden-wakil presiden dan tim sukses secara naif. Mereka mengunjungi pasar-pasar tradisional. Menjumpai dan berjabat tangan dengan pedagang. Bercakap-cakap sebentar dan membeli dagangan sekadarnya ditunjukkan. Tujuannya adalah mencapai popularitas dalam kerumunan. Hal yang lebih menghebohkan ialah ada stasiun televisi yang selama masa kampanye menayangkan acara bertajuk Capres & Cawapres Turun ke Pasar. Bukankah ini membuktikan ada keterasingan politik amat besar dan tidak mudah dipecahkan?

Demokrasi ala kerumunan pasar memang menimbulkan kegairahan tersendiri. Seakan-akan perjumpaan calon presiden-wakil presiden dengan jumlah massa yang meraksasa mampu mengatasi keterasingan politik yang terjadi. Hal itu sebenarnya menunjukkan keanehan. Setidaknya, fenomena itu diungkap Fouad Ajami, profesor Kajian Timur Tengah Universitas Johns Hopkins, ketika menyoroti kerumunan yang menyambut Barack Obama dalam kampanye pilpres di Amerika Serikat (Obama and the Politics of Crowds, Wall Street Journal, 30/10/2008).


Ada keganjilan dan hal baru, kata Ajami, karena kerumunan bukan hal menonjol dalam perpolitikan Amerika. Gejala itu hanya terjadi dalam masyarakat Dunia Ketiga, misalnya Argentina, Mesir, dan Iran. Kerumunan memang mengesankan adanya kesetaraan. Namun, Ajami mengutip pendapat Elias Canetti (1905-1994), kerumunan sebenarnya didasarkan pada suatu ilusi kesederajatan. Dalam peristiwa itu, aneka perbedaan dienyahkan dan semua jadi sama. Itulah kepentingan bagi momentum yang diberkati, saat tak satu pun lebih agung dan lebih baik ketimbang yang lain, rakyat menjadi kerumunan.

Kerumunan memang mampu mengempaskan aneka perbedaan individual. Sebagaimana layaknya dalam arena pasar, individu-individu dalam domain demokrasi ini diperlakukan sebagai pembeli. Semua sama karena tidak ada lagi sekat- sekat derajat maupun pangkat. Namun, demokrasi ala kerumunan pasar tidak mampu menyembunyikan sisi keterasingan yang seharusnya diatasi komunikasi yang saling mengisi. Kerumunan pasar disatukan oleh irasionalitas dan hasrat menentukan pemimpin berdasarkan kalkulasi para penggemar yang menyukai tampilan permukaan tokoh-tokoh politik sebagai bintang-bintang pujaan.

Budaya massa

Di sini bisa dimaklumkan mengapa kandidat presiden-wakil presiden ditawarkan dalam budaya massa penuh kebisingan. Simak bagaimana iklan-iklan politik yang menyajikan calon presiden-wakil presiden dikemas bagai menawarkan komoditas yang dijual di pasar. Hal yang membedakan hanya pada slogan, jargon, tampilan visual, dan jingle yang didendangkan. Simak pula kampanye rapat umum yang disajikan secara kolosal. Semua hanya memuat banalitas (kedangkalan) politik yang ramai dirayakan.

Dalam situasi begini, layak menengok peringatan Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), ”Saat kesunyian berakhir, di situlah pasar dimulai; dan ketika pasar dimulai, di situ pulalah kegaduhan aktor-aktor besar serta dengungan lalat-lalat beracun terjadi”. Aktor-aktor besar itu tidak lain adalah kandidat presiden-wakil presiden yang sedang merebut perhatian dan merampas kebisuan massa. Lalat-lalat beracun adalah agitasi dan propaganda yang mengerumuni kesadaran mereka.
Jadi, pemenang calon presiden-wakil presiden adalah figur-figur yang mampu menaklukkan kerumunan pasar. Tidak peduli ada yang dicurangi. Semua tertelan dalam hiruk pikuk kerumunan pasar.

Manusia Kartun Republik Indonesia

Presiden Barack Obama memuji ketangguhan bangsa Indonesia dalam menghadapi bencana, termasuk gempa besar di Sumatera Barat. Pasti itu bukan pujian basa-basi mengingat Obama relatif paham soal karakter bangsa kita karena pernah hidup di Jakarta.
Bangsa ini sudah cukup lama diguncang gempa, baik gempa denotatif berskala Richter maupun gempa konotatif: gempa politik, gempa sosial, gempa ekonomi, dan gempa budaya. Gempa konotatif jauh lebih rutin dan panjang daripada gempa denotatif yang datang secara berkala, sesuai dengan hukum alam. Jika bangsa kita tidak tangguh, mana mungkin ”tahan” diguncang gempa penjajahan Belanda selama 350 tahun dan Jepang selama 3,5 tahun.

Warisan penderitaan itu pula yang menjadikan bangsa kita ”membiarkan” Orde Baru-Soeharto mampu menciptakan ”gempa” selama 32 tahun. Dalam rentang waktu yang lumayan menyesakkan itu, Orde Baru-Soeharto mampu membelokkan dinamika sosial-politik-ekonomi negeri ini yang semula berciri kerakyatan, sipil, dan antimodal asing menjadi elitis, militeristis, dan promodal asing (Baskara T Wardaya, Kompas, 30/9).

Arus utama yang dibangun Orde Baru-Soeharto itu masih mendominasi hingga kini, di mana ekonomi kapitalistik neoliberal mengatur setiap tarikan napas kita. Akibatnya, bangsa kita semakin kehilangan kedaulatan dan negara lebih berperan sebagai ”panitia” pasar bebas.

Mereka yang prosistem ekonomi dan politik liberal mungkin menganggap kondisi sekarang ini merupakan pencapaian bangsa yang ”gilang-gemilang”. Kalau toh kemiskinan dan kebodohan masih menganga, itu karena ”kesalahan rakyat sendiri yang tidak pintar dan kaya”.

Mereka lupa bahwa kemiskinan dan kebodohan adalah anak kandung sistem yang tidak distributif sehingga aset dan akses menggumpal hanya di lingkaran kekuasaan yang terbatas dan tertutup. Inilah kondisi yang oleh Mahatma Gandhi dianggap bertentangan dengan ukuran ideal suatu negara. Menurut Gandhi, ukuran kebesaran suatu negara harus didasarkan pada betapa pedulinya negara kepada rakyatnya yang paling lemah (Indra Gunawan M, Kompas, 30/9).

Manusia akrobatik

Hidup di Indonesia yang akrab dengan bencana gempa politik, ekonomi, sosial, ekonomi, dan budaya harus siap terhadap dua pilihan yang sama-sama ekstrem. Pertama, menjadi manusia kartun. Kedua, menjadi manusia akrobatik. Menjadi manusia kartun berarti harus memiliki ketahanan dan daya banting yang luar biasa. Rumusan ini diambil dari analogi tokoh-tokoh kartun yang tidak ada matinya meskipun dibenturkan, dilemparkan, digilas, ditindas, dijatuhkan, ditikam, dan ditenggelamkan. Hanya sebentar saja tokoh kartun itu tampak ringsek, tetapi segera menjelma menjadi ”manusia perkasa” dan siap bertarung lagi.

Manusia kartun tidak mengenal sakit karena dirinya adalah kesakitan itu sendiri. Ia juga tidak bisa sedih karena ia adalah kesedihan itu sendiri. Terhadap semua kesedihan dan penderitaan, ia sudah mencapai posisi transendental alias ”mengatasi”.
Rakyat kita telah menjelma menjadi manusia kartun. Dihajar oleh keadaan apa pun, rakyat kita tetap bertahan dan sukses menjalani kodrat sebagai manusia tangguh. Ketangguhan menjadi pilihan satu-satunya karena bangsa kita tidak punya pelindung untuk dimintai pembelaan atau pengayoman. Rakyat kita memang secara formal memiliki wakil-wakilnya di parlemen, tetapi kebanyakan mereka ”kurang memahami” rakyat dan menganggap menjadi anggota parlemen sebagai karier politik an sich yang menjanjikan perolehan material.

Rakyat juga punya pemimpin, tetapi umumnya pemimpin yang ada kurang menjiwai hakikat kepemimpinan, yakni sebagai pelayan publik. Maka, satu-satunya pilihan bagi rakyat adalah berupaya sendiri dengan menjelma menjadi manusia kartun yang tahan banting dan ”tidak ada matinya”.

Sedangkan manusia akrobatik meniscayakan kepiawaian untuk menyiasati keadaan dengan cara-cara kompromi terhadap kekuasaan. Karena itu, manusia akrobatik harus memiliki banyak jurus dan aksi-aksi akrobatik, baik melalui gagasan/wacana maupun tindakan yang—meminjam istilah Gramsci—mengagungkan kekuasaan secara politik maupun ekonomi.
Sejurus dengan hal itu, manusia akrobatik harus menjadi manusia partisan: membela kepentingan kekuasaan yang dominan. Di sini dibutuhkan kapasitas sebagai ”jawara”, bukan pendekar. Pendekar, dalam leksikon jagat persilatan, selalu membela yang lemah dan dilemahkan kekuasaan. Sedangkan ”jawara” selalu membela kepentingan kekuasaan. Pendekar selalu bersikap oposisi terhadap kekuasaan yang dianggap menyimpang. Sedangkan ”jawara” selalu kompromi karena orientasi hidupnya hanyalah materi dan kenikmatan hidup, bukan nilai.

Maka, semakin banyak orang berbondong-bondong menjadi manusia akrobatik dan berharap menjadi ”jawara”. Sementara itu, kini manusia berkapasitas pendekar yang tahan banting makin langka.

rahasia pribadinya


Dunia sudah berubah. Dulu, orang sekuat tenaga membentengi rahasia pribadinya. Sekarang, orang sukarela membukanya melalui televisi. Urusan perjodohan, perselingkuhan, sampai konflik rumah tangga pun mendominasi layar kaca.
Nyalakan televisi Anda dan Anda akan menemukan acara-acara yang mengulas urusan pribadi. Infotainment mengabarkan perceraian pesohor. Reality show membeberkan perselingkuhan dan konflik rumah tangga. Talk show lepas tengah malam membahas urusan tempat tidur.
Masalah pribadi menjejali layar kaca. Sebuah fenomena yang 5-10 tahun lalu mungkin tidak terlintas dalam benak sebagian besar orang Indonesia. Gilanya, sebagian orang memublikasikan urusan pribadinya ke layar kaca secara sukarela.
Tengoklah acara Masihkah Kamu Mencintaiku di RCTI. Dalam acara ini, sepasang suami istri buka-bukaan persoalan rumah tangganya di depan orangtuanya, mertuanya, penonton di studio, dan jutaan pemirsa televisi. Kadang persoalannya begitu pribadi, misalnya, menyangkut ketidakpuasan suami atas layanan istri.
Ada juga Take Me/Him Out Indonesia di Indosiar. Ini semacam acara kontak jodoh produksi Fremantle Media yang lisensinya dibeli Indosiar. Dalam setiap episode Take Me Out, ada 30 perempuan dan 7 laki-laki berusia 20-40 tahun yang mencari jodoh. Untuk Take Him Out, jumlahnya dibalik, 30 laki-laki dan 7 perempuan.
Rabu (7/10) malam, di balik panggung acara Take Me Out, sejumlah perempuan berdandan menor, berpakaian bagus, berparfum wangi, dan bersepatu tumit tinggi tampak agak gugup menanti waktu shooting. Sebagian mengalihkan kegugupannya dengan mengisap rokok.
Ketika shooting dimulai, muncullah pria bernama Rian (24) di panggung. ”Saya masih muda dan cukup mapan. Sekarang saatnya saya mencari pasangan,” ujar Rian memperkenalkan diri.
Laki-laki itu mengaku berprofesi sebagai broker dan pada waktu senggang kerap tampil sebagai disc jockey (DJ) di pesta-pesta pribadi.
Perkenalan singkat itu menarik hati Sofie, salah seorang dari 30 peserta perempuan. Tandanya sederhana saja: keduanya tidak mematikan lampu di mejanya.
”Apa yang membuat Anda tertarik kepada Rian?” tanya pemandu acara, Choky Sitohang, kepada Sofie.
”Lucu. Hidungnya gede, hokinya pasti gede,” jawab Sofie diikuti senyum. Penonton di studio pun tertawa.
Yuanita justru memilih mematikan lampu, tanda tidak tertarik. Alasannya, ”Buat jadi pacar enggak deh. DJ itu kan banyak ceweknya.”
Begitulah. Pada 5-10 tahun yang lalu kita mungkin tidak berpikir ada orang yang berani mencari jodoh lewat acara televisi dengan risiko cintanya ditolak dan penolakan tersebut disaksikan jutaan orang di Indonesia.
Apa yang membuat mereka nekat mengikuti acara seperti ini? Cecile (38), janda dua anak, mengaku serius mencari pasangan hidup. Karena itu, ia tidak ambil pusing ketika teman- temannya menghujatnya lantaran mengikuti Take Me Out.
”Saya enggak malu. Saya ikut acara ini karena didaftarkan anak saya. Mungkin mereka kasihan melihat saya sendirian,” kata Cecile yang malam itu ditemani dua anaknya, Javi (15) dan Erick (13).
Wisnu Prasetyo (20), pelaut, awalnya agak malu mencari jodoh lewat acara televisi. Namun, dorongan untuk mendapatkan pasangan meredam rasa malunya. ”Alhamdulillah, saya bisa bertemu Tari melalui acara ini,” kata Wisnu sambil melirik Tari.
Tari yang ada di sebelahnya tersipu malu. ”Kalau saya, awalnya ikut acara ini karena ingin eksis. Kalau ternyata dapat pasangan, itu bonus,” ujar mahasiswi perguruan tinggi swasta dan penyanyi dangdut yang pernah menembus 26 besar Kontes Dangdut TPI ini.
Buat Tari, eksistensi di layar kaca itu penting buat orang yang ingin terjun ke dunia pertunjukan. Jika tampil di televisi, ia akan dilirik orang. Perkiraannya tidak salah. Melalui Take Me Out, ia tidak hanya bertemu Wisnu, tetapi juga mendapat tawaran casting film televisi.
Mungkin itu sebabnya sebagian peserta semangat sekali jika diminta tampil nyanyi atau ajojing di atas panggung sebab ini kesempatan langka.
Tersembunyi
Terlepas dari motif peserta yang beragam, acara itu digemari banyak orang. Public Relation dan Promotion Fremantle Media di Indonesia, Afni Sasmita, mengatakan, setiap minggu sekitar 150 orang mendaftar untuk audisi acara ini. Acara itu juga ditonton rata-rata 30 persen pemirsa televisi.
Sukses Take Me/Him Out kian menegaskan, acara yang mengungkap urusan pribadi disuka pemirsa televisi. Infotainment dan reality show model Termehek-mehek (TransTV) sudah lebih dulu membuktikannya.
Mengapa pemirsa suka mengintip urusan pribadi orang lain? Hamdi Muluk, Kepala Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, mengatakan, urusan pribadi adalah dunia yang tersembunyi. ”Ketika dunia tersembunyi itu diungkap, orang pasti suka. Semakin tersembunyi, semakin orang tertarik. Secara psikologis orang senang membandingkan perilakunya dengan perilaku umum,” katanya.
Persoalannya adalah dunia tersembunyi ini sekarang menjadi komoditas unggulan televisi. ”Ini berbahaya sebab orang digiring setiap hari untuk melihat sesuatu yang dangkal. Kalau begini terus, kita menjadi bangsa yang bebal,” katanya.