Minggu, 19 September 2010

Mengugat Belis di Manggarai Raya (1)

Neo-trafficking atau Human Awards?

Budaya belis adalah salah satu bagian dari warisan budaya yang ada di manggarai.raya Namun warisan yang mahaluhur itu mendapat sorotan yang begitu tajam dari masyarakat yang sedang bergulat dengan budayanya sendiri. Di Manggarai Barat untuk tidak main main dengan urusan belis berkisar 75 juta hingga 500 juta. tulisan ini sebagai ungkapan kegelisahan ketika melihat perkembangan budaya itu ke arah yang destruktif dan menjadi pemicu mapannya situasi kemiskinan da persoalan humanitas. Bagaimana kebudayaan itu membebaskan dan membawa manusia pada pemaknaan diri yang lebih manusiawi serta menemukan unsur hakiki dalam dirinya sebagai manusia. persoalan mendasar yang hendak saya putuskan adalah mengenai ke manakah arah budaya belis sekarang. Apakah sebagai bentuk baru dari penjualan manusia (human traffciking) atau masih berupa penghargaan atas hidup manusia ( human awards) khususnya kaum wanita ?

Tidak ada definisi yang baku atas istilah Belis yang ada di manggarai raya Kita hanya dapat mengetahui bahwa belis itu merupakan seperangkat mas kawin yang diberikan oleh anak rona ( keluarga mempelai laki-laki) kepada anak wina (keluarga mempelai perempuan). Dan biasanya berdasarkan atas kesepakatan sebelumnya dan upacara kesepakatan atas mas kawin itu di sebut pongo. Setelah semuanya mencapai kesepakatan, ada waktu yang telah ditentukan untuk menyerahkan mas kawin itu di sebuah acara adat yaitu ‘wagal’ dan acara ini lebih meriah dari acara pongo. Acara wagal ini biasanya disertai dengan tarian caci (tarian khas manggarai). Perlu diingat bahwa, pada saat pongo (kesepakatan belis), terjadi proses tawar menawar yang begitu sengit antara tongka (juru bicara) dari pihak anak rona dan anak wina. Mempelai perempuan memberikan patokan belis yang harus dibayar kemudian ditanggapi oleh keluarga mempelai laki-laki berupa tawar-menawar sebelum adanya keputusan final. Kadang tidak ditemukanya kesepakatan dan apabila kesepakatan tidak ditemukan, maka acara itu ditunda lagi.

Terdapat tiga bentuk-bentuk perkawinan adat yang ada di manggarai. bentuk yaitu cangkang, cako, dan tungku. Perkawinan cangkang adalah bentuk perkawinan antara seorang pemuda dan seorang pemudi dari dua keluarga yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan sebelumnya. Hubungan kekerabatan antara anak rona dan anak wina dalam perkawinan cangkang bersifat sangat formal. sebagaimana dilihat ketika pihak anak wina melakukan negosiasi dengan pihak anak rona menyangkut besaran belis ‘maskawin’ dalam acara peminangan (du ngo taeng). Selain besaran nominal belis yang diminta pihak anak rona relatif tinggi, tuntutan cara pembayarannya juga begitu ketat.

Jenis belis yang diminta pihak anak rona kepada pihak anak wina adalah kerbau (kaba), kuda (jarang), babi (ela), kambing (mbe), dan sarung adat (lipa songke) dalam jumlah tertentu sesuai status sosial keluarga anak rona. Apabila semua belis sudah dilunasi pihak anak wina, acara pernikahan (nempung) dapat dilaksanakan dan pengantin perempuan langsung diantar ke kampung keluarga anak wina melalui sebuah upacara adat yang disebut podo ‘antar’. Perkawinan cako adalah bentuk perkawinan antara seorang pemuda dan seorang pemudi dari satu temali kekerabatan wa’u yang sama. Bentuk perkawinan ini hanya berlaku pada generasi lapisan ketiga ke atas. Penyimpangan terhadap ketentuan adat itu dipahami sebagai sebuah dosa berat (ndekok mese) dalam perspektif budaya manggarai.

Terminologi umum untuk bentuk perkawinan yang menyimpang ini adalah “insect”. Diidentifikasi sebagai sebuah dosa berat karena tindakan itu bersifat antisosial yang menyebabkan ketidakselarasan hubungan sosial kemasyarakatan dalam lingkup kehidupan satu wa’u. Untuk mengatasi adanya dampak negatif terhadap hidup dari bentuk perkawinan ini, maka diadakan ritual pemutusan. Tindakan pemutusan hubungan itu biasanya dilaksanakan melalui sebuah ritual khusus yang disebut adak keti manuk miteng (ritual potong ayam berwarna hitam). Disebut demikian karena hewan yang digunakan sebagai sarana persembahan utama dalam ritual itu adalah seekor ayam berwarna hitam (manuk neni atau manuk miteng) yang dipahami dan dimaknai oleh orang manggarai sebagai lambang kegelapan dan kegagalan. Dalam bentuk perkawinan ini, belis tidak terlalu dituntut karena dianggap sebagai kecelakaan.

Perkawinan tungku adalah bentuk perkawinan seorang pemuda dari pihak keluarga saudara perempuan (weta) dan seorang pemudi dari pihak keluarga saudara laki-laki (nara). Seperti tersurat dari makna leksikal kata tungku ‘sambung’, perkawinan tungku bertujuan menyambung kembali hubungan keluarga antara saudara perempuan dan saudara laki-lakinya yang sudah terputus karena perkawinan cangkang.
Adanya belis secara ketat terjadi dalam bentuk perkawinan yang pertama yaitu bentuk cangkang. Dilihat dari tradisi yang hidup pada awalnya, belis merupakan bentuk penghargaan keluarga laki-laki terhadap keluarga perempuan karena telah menyerahkan anaknya untuk menjadi bagian yang sah dari keluarga besar sang lelaki.

Semula tradisi belis (maskawin) di manggarai tidak menimbulkan kegelisahan yang mendalam dari sebagian masyarakat manggarai. Belis dianggap sebagai nilai yang berharga dalam sistem perkawinan manggarai. Belis dimaknai sebagai tali pengikat persaudaraan dan kekeluargaan antara pihak anak rona dan anak wina. Namun ketika nilai itu mengalami pergeseran ke sifatnya yang pincang dan tidak sesuai dengan makna dasarnya, maka kecemasan, keresahan dan diskusi-diskusi yang produktif pun semakin hangat terjadi dan semuanya itu merupakan usaha manusia untuk mengembalikan keaslian makna dari nilai ‘belis tersebut’. Bahkan ada yang lebih naif lagi yaitu berusaha menghapus bentuk kebudayaan itu karena berada di medan paradoks hidup bermasyarakat karena di tengah situasi masyarakat yang sebagain besar warganya dilanda kemiskinan, belis dari tahun ke tahun semakin mahal bahkan terjerumus dalam hukum permintaan dan penawaran seperti yang terdapat dalam dunia pasar.

Sehingga tulisan ini pun berangkat dari kegelisahan yang sama. Sebuah kegelisahan atas budaya yang semula menawarkan nilai yang berharga dan sekarang berubah menjadi momok yang memuakan bagi sebagian masyarakat. Gugatan-gugatan untuk memusnakan budaya itu pun kian menjadi-jadi.


Tulisan ini membawa ketegangan berpikir antara budaya yang membebaskan berupa penghargaan atas diri manusai dan budaya yang mengekang hidup manusia berupa model baru “penjualan manusia” yang lagi marak terjadi dewasa ini. Mungkin istilah “human trafficking” ini sangat mengenaskan bahkan menyakitkan sebagian orang yang masih mengagungkan budaya ini. Untuk meredam rasa amarah yang kian membeludak, maka saya harus menambahkan kata “terselubung” untuk memaknai kata trafficking secara halus dan tidak melukai perasaan.

Mengapa harus disebut bentuk baru penjualan manusia yang terselubung? Mungkin itu yang harus di kaji. Oleh karena setiap pernyataan harus disertai argumentasi yang logis, benar dan jujur. Untuk menjawab pertanyaan ini, saya harus kembali ke kegelisahan utama saya dan apa yang sedang saya geluti. Sekarang saya sedang bergulat dengan nilai. Nilai inilah yang diidambakan dan dipegang erat serta dicari oleh sejuta manusia yang sedang memaknai hidup. Budaya belis mendapat gugatan justru karena budaya yang semula meneteng nilai yang begitu indah malah jatuh dalam suatu bentuk nilai baru yang sangat artifisial dan untuk memenuhi hasrat manusia untuk semakin memiliki harta yang melimpah*** (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar