Jumat, 20 November 2009

DPRD Mabar Ikut Langgar

Fraksi Golkar dan PDIP di DPRD Mabar menolak tambang. Tambang merusak lingkungan hidup dan masyarakat, termasuk pariwisata. Demikian ketua fraksi Blasius Jeramun dan Ambros Djanggat menanggapi ekplorasi tambang emas di Batu Gosok. Hanya begitu. Sebatas sikap fraksi. Belum jadi sikap DPRD. Sebab, belum ada pengaduan dari masyarakat.

Tunggu masyarakat mengadu dulu baru DPRD Mabar ambil sikap. Tidak ada pengaduan, tidak ada sikap. Sikap DPRD bergantung penuh pada ada tidaknya pengaduan. Seandainya warga satu kampung mati semua karena keracunan air minum sehingga tak tersisa seorang pun yang bisa datang mengadu ke DPRD, lembaga terhormat ini akan tetap tenang di tempat. Tahunya cuma menunggu.

Maka, supaya DPRD bisa mengambil sikap, mayat sekampung itu harus datang mengadu. Sebab, yang menentukan adalah adanya pengaduan, bukan adanya masalah. Segawat apa pun masalah, kalau tidak diadukan, tidak akan disikapi.

Kasus eksplorasi tambang emas di Batu Gosok kini diperhadapkan dengan sikap dewan seperti ini. Masalah sudah di depan mata, sudah genting, DPRD masih saja menunggu pengaduan masyarakat untuk bisa mengambil sikap. Kalau tidak ada yang mengadu, apakah berarti tidak ada masalah? Lupakan pengaduan itu! Mari dan lihatlah masalah.

Menjadikan Batu Gosok lokasi tambang emas, sudah masalah. Melanggar Perda Nomor 30 Tahun 2005. Dalam penjabaran berupa Penyusunan Rencana Teknik Tata Ruang Kota Labuan Bajo, Batu Gosok merupakan kawasan wisata. Bagaimana mungkin kawasan wisata yang mengharuskan pelestarian lingkungan hidup serempak menjadi kawasan pertambangan yang justru merusak dan menghancurkannya?

Perusakan dan penghancuran sudah di depan mata. Rm Robert Pelita Pr di Labuan Bajo bersama puluhan rekannya sempat ke Batu Gosok pada Minggu 24 Mei 2009. Ia kabarkan via SMS: “Betapa kami terkejut karena aktivitas pertambangan sudah mulai berjalan. Kami saksikan, ada satu alat berat (loder), dua tower sudah dibangun, ada beberapa parit lebar 1-2 meter, dalam 2-3 meter, panjang puluhan meter. Parit tersebut ke utara (mengarah) ke Perusahaan Ikan Loh Mbongi dan ada yang ke arah Hotel Anam Emeral. Kami juga bertemu satu pegawai lapangan investor tambang.

P Marsel Agot SVD sempat dialog dengan dia. Dia beri keterangan bahwa rencananya akan dieksplorasi 2.000 ha. Saya juga dapat SMS dari pegawai Hotel Anam Emeral beberapa hari lalu bahwa dua wisatawan asal Swedia terpaksa evakuasi ke Hotel Bintang Flores karena terganggu oleh aktivitas di lokasi pertambangan.”

Dalam pelanggaran sebesar ini, DPRD Mabar masih main tunggu dan main tunda. Periculum ini mora, kata ungkapan Latin. Bahaya mengintai dalam penundaan. Menunggu, menunda, berarti membiarkan pelanggaran tetap berlangsung. Setiap pembiaran merupakan pelanggaran. Pelanggaran by omission. Jelas, dengan sikapnya itu, DPRD Mabar ikut melanggar juga

DPRD Mabar, Penunggu

Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Masyarakat Mabar boleh protes, Bupati Fidelis Pranda jalan terus. Investor Cina sudah masuk ke lokasi tambang emas di Batu Gosok, Kelurahan Labuan Bajo. Lengkap dengan peralatan berat. Sudah mulai eksplorasi pula, menggusur, dan seterusnya.

Batu Gosok di bibir Laut Sawu, tak jauh dari Labuan Bajo. Kawasan ini masuk jalur hijau. Kawasan yang diperuntukkan bagi pengembangan pariwisata. Sudah ditetapkan dalam Perda Nomor 30 Tahun 2005. Karena peruntukannya jelas dan tegas, pengembangannya sudah tampak. Sudah ada hotel di sana.

Atas dasar apa dan seizin siapa investor tambang masuk? Atas dasar apa dan seizin siapa ia menyerobot jalur hijau, merusak tata ruang, dan mengangkangi perda? Patut dapat diduga, atas dasar kesepakatan dengan bupati dan atas izin sang bupati. Kapan, di mana, dan bagaimananya, itu yang tidak jelas. DPRD juga tidak tahu. Baru tahu dan terkejut-kejut ketika Batu Gosok mulai digusur.

Masyarakat resah. Gereja prihatin. Administrator Keuskupan Ruteng Rm Laurens Sopang Pr mengirim SMS. “Saya dan para imam Keuskupan Ruteng sedih dan menyatakan turut berduka atas gejala kematian pariwisata Mabar, akibat kerusakan lingkungan hidup di Batu Gosok karena sudah mulai digusur alat-alat berat dari Cina untuk pertambangan emas. Pariwisata Mabar hancur oleh kerakusan pemda. Betapa surammya dunia pariwisata kita ke depan. Padahal, pariwisata itu emas yang tidak akan pernah habis.”

SMS dari Rm Edy Manori Pr menohok langsung Bupati Pranda. “Sebagai pemimpin Mabar, Bapak katanya punya kehendak baik untuk sejahterakan rakyat. Bapak menegaskan pariwisata merupakan aset Mabar. Semua setuju. Akhir-akhir ini sepertinya Bapak berubah konsep alias tidak konsisten. Tiba-tiba tambang jadi primadona, padahal risikonya untuk merusak lingkungan dan pariwisata sangat besar. Apalagi lokasi tambang tepat di daerah pariwisata seperti Batu Gosok. Prosedur hadirnya juga bermasalah, tidak transparan .... Kebijakan sepihak tanpa melibatkan rakyat bahkan merampas hak milik rakyat menggambarkan kepemimpinan yang tidak demokratis, melainkan diktator ....”

Di tengah keresahan ini, anehnya, DPRD Mabar duduk manis. Wakil Ketua Ambros Djanggat beralasan, “DPRD belum bisa mengambil sikap karena masih menunggu pengaduan masyarakat.” Wuih, macam polisi saja dalam delik aduan murni. DPRD itu wakil rakyat. Mata, telinga, hati, dan mulutnya rakyat. Seharusnya peka, menyerap, membahasakan, dan memperjuangkan aspirasi rakyat, termasuk yang tidak dapat dan tidak berani diungkapkan rakyat.

Tambang Batu Gosok itu di depan hidung. Eksplorasinya jelas-jelas mengancam lingkungan hidup dan pariwisata, menyerobot jalur hijau, merusak tata ruang, dan mengangkangi perda. Koq DPRD tunggu pengaduan dulu baru bertindak? Di mana perannya sebagai mata, telinga, hati, dan mulut rakyat? Kalau cuma tunggu, sekalian saja ganti nama: Dewan Penunggu Rakyat Daerah Mabar.

Kamis, 19 November 2009

Melawan ‘Kemiskinan’

M. Gandhi pernah mengatakan alam hanya bisa mencukupi kebutuhan, tanpa bisa memuaskan keserakahan manusia. Apologi ini sesungguhnya sinyal awal dari massifitas perilaku korupsi yang mengakomodasi keserakahan manusia pada klimaks patologis (Arghiros, 2001) seperti power tend to corrupt-nya Lord Acton.

Indonesia paling tidak sedang bernaung di patologi ini. Antek-antek korup di bangsa ini sedang asyiknya menyeringai keadilan. Dengan kekuasaan tendensius, sumber daya bangsa dibabat demi sebuah piramida kemiskinan. Sedikit orang yang menikmati roti kemakmuran sebaliknya banyak rakyat yang terkapar lapar.

Maka Mark Twain benar, teror paling mengerikan sesungguhnya kemiskinan. Kemiskinan tak lain simbolisasi dari kemampuan distribusi negara yang lemah. Kemampuan mendistribusi tidak saja pada soal sumber daya, tetapi nilai-nilai vital yang menjadikan suatu negara berwibawa yakni hukum dan keadilan (Rawls, 2006).

Hukum dan keadilan bangsa ini memang sedang dibayang-bayangi teror keserakahan. Para koruptor cerdik dan lihai melipat rapih hukum sesuai selera sehingga kebenaran nampak salah dan yang salah nampak benar. Inilah yang didistribusikan secara impresif ke berbagai level institusi (birokrasi eksekutif, legislatif maupun yudikatif) sebagai sumber soal indikasi mafioso.

Instrumen kenegaraan kehilangan ‘darah segar’ fungsinya di lahan populis. Kosekuensinya konstelasi hukum nasional kian pucat tafsir dimonopoli kaum idilis yang ngotot melumat nilai-nilai kejujuran dan akuntabilitas demi kepentingan diri dan kroni-nya (Salmi, Violence and Democratic Society: 2005). Afirmasi hukum seketika terjun bebas dalam impunitas pembelaan diri, mengundang simpati klise sekaligus demi selamat dari penghakiman rakyat.

Anyaman Rapuh

Maka tak heran kala melihat sumpah dan air mata begitu laris manis di bibir pejabat. Seolah apa yang namanya benar dan jujur hanya bisa diinaugurasi oleh ikrar sumpah. Ironisnya rakyat sudah telanjur dibenami kepercayaan yang rendah (low of trust) terhadap instalasi hukum. Petenteng hukum kita yang mudah dikeroyok kepentingan pragmatis menguatkan karakter hukum yang delegitimatif, tak dapat diandalkan untuk memuaskan pencaharian keadilan sejati 200 juta-an rakyat.

Di sini demokrasi berpotensi menjadi anyaman rapuh yang kehilangan ‘seni’ dan substantifnya. Sebab hukum senantiasa gagal meluruskan sendi institusi kebangsaan yang bengkok. Sebaliknya hukum yang vakum kaedah perlahan-lahan menggembosi roda demokrasi di tepian jurang kebangkrutan moral.

Dramaturgi kasus Polri, Kejaksaan dan KPK sesungguhnya sebuah wajah paling binal untuk menunjukkan distorsinya gelombang demokrasi. Di luar, eksposes keberhasilan demokrasi cukup berbinar. Tetapi di sisi lain, demokrasi itu gagal memberi kehidupan buat rakyat.

Sejak reformasi dihembuskan sampai sekarang, mental-mental ekskursionalitas politik para elit lebih tampil dominan daripada sebuah pengorbanan konstruktif. Nilai-nilai narsisme pejabat sepertinya jauh berada di atas angin. Sulit dijangkau akal sehat dan atmosfir komunalisme.

Institusi hukum dibuat sekadar ruang pelesiran hasrat koruptif. Prosedur legalisme dengan ayat dan pasal yang menyayapi mesin hukum dihadirkan untuk menyingkirkan eksistensi rakyat yang membisu dalam rel-rel ekspektasi moral. Rakyat bertanya, bagaimana bisa membangun negara yang instalasinya sudah didesain secara sistemik untuk bekerja mengenyangkan perut kekuasaan materialis. Sementara rakyat dipaksa sistem itu mengerahkan energinya bagi pencapaian kondusifitas interpretasi hukum yang koheren dengan interest satu dua orang.

Keangkuhan hukum yang disubtilkan oleh birokrasi yang pongah dan rusak selalu mengontrol ruang gerak rakyat untuk selalu tunduk pada kebohongan penguasa dengan testamen-testamen panoptikal dan menyesatkan. Rakyat dianggap dungu karena selalu dapat mengiyakan argumentasi penguasa tanpa berani memperdebatkannya dalam ruang deliberatif (F Budi Hardiman: 2009: 168-172).

Mafia hukum dengan torehan skandal dan testimoni palsu yang merecoki institusi hukum bangsa dewasa ini menandakan suatu keparahan negara. Betapa pun negara ini demokratis, mampu menyediakan jaminan kesejahteraan pejabat yang tampil mewah dengan seabrek fasilitasnya. Fakta berbicara, negara ini sedang sakit kronis. Kemiskinan dan bencana adalah kutukan sosial terhadap negara yang diserahkan pengelolaannya kepada penyamun berdasi.

Mereka mengendalikan (memiskinisasi) negara di tengah kenestapaan yang menikam jantung rakyat. Bangsa ini terus diiris penderitaan jika pemuka-pemukanya hanya pandai bersilat lidah, saling berebut benih rivalitas untuk menumbuhkan kebencian terhadap gerakan yang merapuhkan kemapanan. Korupsi bukan lagi musuh bersama, namun menjadi kawan bersinergi untuk mendurjanai keadilan yang diparkirkan bebas di atas meja dan ketukan palu kompromi.

Modal Demokrasi

Korupsi sudah dianggap keniscayaan dari sebuah budaya kekinian. Sebuah bentuk upaya memodernisasi ‘penghisapan’ dengan intrumen administratif, birokratis serta konsolidasi kepentingan parsial agar terus beritme dan memperoleh tempat sejuk dalam dinamika kekuasaan reformatif. Apalagi kincir kapitalisme ikut memberi angin segar bagi blunder penumpukan kekayaan.

Indonesia tak mestinya bangkrut dari tekukan begundalitas elit yang mengisap uang rakyat. Indonesia masih menyisakan modal demokrasi potensial dan ekspresif yaitu kekuatan kritis rakyat (F Budi Hardiman, 2009), misalnya jutaan facebookers yang kini berada di pihak ‘cicak’. Mereka ini perlu diberi roh oleh pemimpin yang menyemangati ikhtiarnya dalam melakukan kontrol terhadap berbagai kekejian penguasa.

Untuk itulah negara perlu punya pemimpin atau presiden yang berwibawa (Almond & Powell 1978; 286); yang sanggup menggalang dan mengarahkan cita-cita kolektif rakyat secara spartan dan tegas menuju ke sebuah gerbong perlawanan bersama terhadap berbagai kemiskinan (kejahatan korup) yang mendera bangsa dan negara ini.

Rabu, 18 November 2009

BARTIMEUS, SI BUTA

Ada seorang buta dari Yeriko, namanya Bartimeus. Dia buta sejak lahir. Sudah lama dia mendengar bahwa seorang yang bernama Yesus dapat menyembuhkan orang-orang sakit dari segala macam penyakit. Diapun berharap agar suatu saat Yesus datang ke kotanya dan bisa menyembuhkan dirinya. Maka saat ketika Yesus lewat, baginya merupakan kesempatan berahmat.

Di tengah kerumunan orang, dia berteriak dan memanggil Yesus. Walaupun orang banyak menegur dan berusaha menghalanginya, dia malahan semakin kuat berteriak: “Yesus putera David, kasihanilah aku,” (Mrk.10:46-52).
Beranjak Dari Kebutaan

Semua orang beriman sadar bahwa hidup adalah anugerah Allah. Ini berarti hidup diberikan oleh Allah kepada manusia tanpa sebuah perhitungan apapun. Sebagai anugerah, hidup adalah sesuatu yang sangat penting bagi manusia, bukan sekedar sebuah hadiah yang diberikan setelah melakukan sesuatu yang berkenan di hadapan Allah.

Hidup merupakan kesempatan bagi manusia untuk mengaktualisasikan dirinya di dalam dunia. Hidup, apapun bentuknya selalu berhubungan dengan sumbernya yaitu Allah sendiri. Bagi Bartimeus, sejak lahir, hidup adalah menjadi buta. Oleh karena itu, dia memandang hidup dari kebutaannya.

Dia tentu berusaha supaya diri dan hidupnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari komunitas dan masyarakat di mana dia berada, tetapi, baik dirinya maupun orang lain tidak dapat mengubah keadaannya. Dia buta. Walaupun demikian dia tetap yakin dan percaya bahwa hidup adalah anugerah Allah. Tidak ada sesuatupun, termasuk manusia yang bisa mengubahnya. Segala macam keterbatasan, penderitaan dan kegagalan tidak mampu meniadakan atau menghancurkannya.

Bartimeus yakin bahwa hidupnya berada dalam genggaman Allah. Menurutnya Allah hadir dalam kebutaannya. Dia percaya bahwa orang yang bernama Yesus itu adalah Mesias yang dijanjikan oleh Allah (putera David). Dan Yesus datang untuk menyelamatkan orang-orang yang tak terbilang dalam masyarakat, termasuk dirinya. Sehingga ketika Yesus lewat dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengalami kasihNya. Dia tahu dan yakin bahwa saat itu adalah berkat dan rahmat dari Allah.

Dia yakin bahwa Allah mengundangnya untuk meraih kehidupan yang lebih baik, dan karena itu, dia harus memenuhinya. Dia percaya bahwa saat itu adalah satu-satunya kesempatan untuk masuk ke dalam bilangan Kerajaan Allah. Karena itu dia berusaha sekuat tenaga berteriak memanggil Yesus. Dan memang usahanya membuahkan hasil. Yesus mendengar suaranya, lalu memberikan kesempatan kepadanya untuk menyampaikan keinginannya. Yesus memenuhi permintaannya. Dia dapat melihat.

Bartimeus, model murid

Apa yang menarik dari fenomen Bartimeus ini? Penyembuhannya yang luar biasa? Tidak salah kalau orang-orang kristen membiarkan diri tertarik secara rohani dengan berbagai macam penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus selama keberadaanNya di dunia ini, karena lewat penyembuhan-penyembuhan itu Yesus ingin menunjukkan bahwa Kerajaan Allah benar-benar hadir di tengah-tengah dunia.

Namun, di pihak lain, hal-hal itu belum tentu mampu mengantar hati dan pikiran manusia kepada Yesus dan mengerti secara mendalam maksud kedatanganNya. Berulang kali Yesus mengingatkan khalayak ramai yang menyaksikan perbuatan-perbuatanNya supaya tidak mengatakan kepada siapapun (misalnya Lk. 8: 56). Karena Yesus tidak mau orang menganggap dirinya hanya sebagai pembuat mujizat dan dukun populer berkekuatan gaib yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Yesus menghendaki sesuatu yang lebih dari itu.

Penginjil Markus menghadirkan Bartimeus sebagai model dari murid yang tahu dan sadar akan kehadiran Kerajaan Allah. Bukan orang banyak yang sedang mengerumuni Yesus dan murid-muridNya sebagai kelompok yang patut mendapat penghargaan. Bukan mereka yang menegur si buta supaya tidak mengganggu Yesus, dijadikan Markus sebagi cermin tingkah laku spiritual yang benar. Di mana letak keistimewaan dari tokoh Bartimeus ini? Ketika dia melihat cahaya, dia segera mengikuti Yesus.

Bagi dia, ´dapat melihat´ adalah suatu rahmat sekaligus sebagai suatu panggilan dan undangan dari Dia yang memberikan terang itu. Kebutaan yang dia alami sebelumnya bukan saja menghalangi dirinya untuk melihat dan mengalami hidup seperti orang lain, tetapi juga merupakan batu sandungan untuk merangkai dan membangun langkah-langkah hidup menuju kesempurnaan kekal. Oleh karena itu, dia tidak tergoda untuk berhenti dan puas pada kenyataan ´bisa melihat´, tetapi lebih dari itu beriman dan percaya kepada Yesus. Sangat berbeda dengan orang banyak. Mereka tidak mengerti apa yang mau diperjuangkan oleh Bartimeus. Mereka juga tidak memiliki sebuah hati yang mampu dan mudah tersentuh oleh belaskasihan.

Mereka tidak sadar bahwa jawaban praktis yang sempurna atas pewartaan Yesus adalah membuka jalan bagi yang menderita dan tertekan menuju Yesus. Mereka juga tidak melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Bartimeus adalah perbuatan iman. Mereka melihat Yesus, tetapi mereka tidak melihat cahaya, malah berbalik tanpa melakukan apapun. Orang banyak tidak mampu melihat dan menyadari kedatangan Kerajaan Allah. Mereka tetap menanti dan bertekun dengan cara hidup lama yang sangat diskriminatif dan menyesatkan. Sedangkan, Bartimeus tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk memperbaiki hidupnya.

Baginya hidup baru berarti mengikuti Yesus. Orang banyak masih menunggu, menimbang berbagai macam hal dan membutuhkan banyak mujizat untuk menjadi murid Yesus, sedangkan bagi Bartimeus, saat dia melihat cahaya adalah moment pertobatan karena dia memang sudah mengalami kerajaan Allah. Orang banyak sedang mencari-cari terang untuk menemukan jalan hidup yang benar, tetapi ketika melihat jalan itu, mereka berbalik dan meninggalkan Yesus tanpa kata dan perbuatan (Mrk.10:22).

Bartimeus dan kemiskinan dalam dunia

Data-data menunjukkan bahwa banyak kejahatan yang dilakukan oleh manusia dewasa ini disebabkan oleh kemiskinan. Orang terpaksa mencuri, melacur, membunuh, merampok dan berperang karena ketiadaan uang dan lapangan kerja. Kemiskinan juga menyebabkan yang kaya dan para penguasa semakin serakah. Oleh karena itu kemiskinan dianggap momok yang menakutkan. Orang-orang miskinpun sampai diperlakukan sebagai penyebab dari kemiskinan itu. Mereka cenderung tidak diperhatikan dan diperhitungkan, sampai apa saja yang mereka miliki diambil sebagai alasan untuk kepentigan umum.

Tokoh Bartimeus menunjukkan realita kemiskinan dan penderitaan yang sangat berbeda. Bagi Bartimeus, kemiskinan dan penderitaan adalah batu loncatan untuk mengalami kehadiran Allah di tengah-tengah dunia. Kemiskinan adalah semangat hidup yang tidak menggantungkan diri pada harta kekayaan, sebaliknya menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah. Sehingga kemiskinan bukan lagi merupakan momok yang menghancurkan kehidupan manusia tetapi lebih sebagai sikap dasar untuk memperkaya hidup menurut kehendak Allah.

Kemiskinan Bartimeus melahirkan sikap solider dan saling menghargai. Yang kaya harus tahu diri bahwa semua manusia dilahirkan miskin dan tak berdaya, bahwa dunia dan segala yang ada diciptakan untuk semua, bahwa potensi, kemampuan dan bakat lebih-lebih dalam bidang ekonomi bukan untuk kepentingan ´keakuannya,´ tetapi untuk berbakti terlebih kepada mereka yang lebih membutuhkan.

Yang kaya harus sadar bahwa dia diperkaya oleh orang-orang miskin dan tertindas. Negara-negara kaya dewasa ini selayaknya mulai berpikir untuk membantu negara-negara bekas jajahan sebagai tanda pertobatan yang layak karena telah menguras dan merampas harta kekayaan secara tidak manusiawi selama berabad-abad.

Bartimeus juga mau menunjukkan bahwa orang miskin adalah sebuah sakramen: membawa umat manusia kepada jalan yang diretas oleh Yesus menuju kebahagiaan. Tokoh Bartimeus memberikan pencerahan untuk memahami bahwa orang miskin bukan sosok manusia yang membebani dunia. Bahwa orang miskin bukan kelompok manusia yang menghancurkan dan merendahkan martabat manusia sebagai makhluk berakal budi.
Bahwa kebutuhan orang miskin bukan terbatas pada uang dan lapangan kerja, tetapi terutama ruang dan kesempatan untuk merealisaikan dirinya sebagai manusia. Bahwa untuk membantu orang miskin bukan dengan cara menghancurkan hábitat dan ekologinya, dan mencabut roh dan akar budaya kehidupannya, kemudian memindahkan mereka seperti binatang langkah dan purba ke daerah tak bertuan.

Oleh karena itu, kemiskinan yang melanda negara-negara berkembang sepatutnya mengusik hati dan pikiran segenap umat manusia. Seruan orang-orang miskin, keluhan-keluhan negara-negara dunia ketiga dan keempat sepantasnya didengar oleh setiap penguasa, pengatur dan penggerak program pembangunan global.

Suara-suara dari mereka yang lapar karena tertindas oleh ketidakadilan seharusnya dibiarkan bergema di sekolah-sekolah, Perguruan Tinggi, LSM, lembaga agama dan pemerintah, organisasi masyarakat, Bank Dunia dan FMI. Realita orang miskin harus menjadi dasar sebuah program pembangunan lokal, nasional maupun global, karena hidup mereka bukan suatu kutukan dari sang Pencipta, sebaliknya sebuah rahmat untuk membangun dunia menuju realita Kerajaan Allah.

Mari… kita berdoa, semoga Allah sumber kehidupan menggerakkan hati dan akal budi kita agar mampu mengenal kehadiran dan kehendakNya secara baik dan benar. Agar kita rela dan berani membawa semua orang pada jalan menuju pertemuan dengan Yesus. Agar semua proyek dan program pembangunan, baik lokal, nasional maupun global sejalan dengan karya keselamatan: selalu mulai dari realita ketakberdayaan, menuju jalan salib dan berakhir dengan kebangkitan. Amin!

Hidup di Tengah Janji-Janji Politik

Pasca pemilihan umum legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) 2009, rakyat Indonesia dipastikan kembali mengalami ingar bingar politik elektoral. Secara nasional, tahun 2010 nanti berlangsung sekitar 210 pemilihan kepala daerah (pilkada) di kabupaten/kota dan terdapat tujuh pilkada tingkat provinsi. Di NTT sendiri ada delapan kabupaten yang akan menggelar pilkada.

Delapan kabupaten tersebut adalah Kabupaten Flores Timur, Ngada, Manggarai, Manggarai Barat, Sumba Timur, Sumba Barat, Timor Tengah Utara (TTU) dan kabupaten Sabu Raijua. Selain Kabupaten Sabu Raijua yang merupakan kabupaten baru, masa jabatan ketujuh bupati di kabupaten lainnya berakhir pada semester kedua 2010, yaitu antara Agustus sampai Desember.

Dengan demikian, dengan mengacu pada ketentuan undang-undang bahwa pilkada diselenggarakan paling lambat 30 hari sebelum masa jabatan bupati/walikota berakhir, penyelenggaraan pilkada di NTT kira-kira dimulai bulan Juni hingga November 2010. Tetapi, tentu saja beberapa bulan sebelum dan sesudah pelaksanaan pemungutan suara dilakukan, dinamika politiknya sudah dan tetap terasa. Dua kabupaten di ujung barat Pulau Flores, yaitu Manggarai dan Manggarai Barat (Mabar), misalnya, meski tahun 2009 belum berakhir, tetapi kasak-kusuk tim sukses mulai memasuki kampung-kampung.
Padahal, masa jabatan Bupati Manggarai, Christian Rotok dan Wakilnya Deno Kamelus berakhir 14 September 2010. Sedangkan, masa jabatan Bupati Manggarai Barat Wilfridus Fidelis Pranda dan Wakilnya Agustinus Ch. Dula berakhir pada 30 Agustus 2010.

Sejumlah nama bakal kandidat pun sudah mulai beredar di masyarakat. Di Mabar muncul nama-nama seperti Wilfridus Fidelis Pranda, Agustinus Ch. Dula, Anton Bagul Dagur, Mateus Hamsi, Paul Baut, dan lainnya. Sedangkan, di Kabupaten Manggari, sejumlah nama bakal kandidat yang muncul adalah Chris Rotok, Paju Leok, Yos Darung Man, Liber Habut, Victor Slamet, dan sebagainya.Bisa dipastikan, di Kabupaten Ngada, Flores Timur, Sumba Barat, Sumba Timur, TTU, dan, Kabupaten Sabu Raijua, juga mengalami dinamika yang sama. Nama-nama bakal calon ini oleh tim sukses masing-masing sudah disosialisasikan ke para calon pemilih di seluruh pelosok daerah. Proses pilkada sebagai suatu mekanisme politik untuk menggantikan kepala daerah merupakan suatu keniscayaan dalam demokrasi prosedural.

Sejak tahun 2005 lalu, pilkada dilakukan secara langsung, yaitu setelah disahkannya UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai dasar hukum penyelenggaran pilkada. Pilkada langsung ini dinilai mencerminkan nilai demokrasi, yaitu partisipasi yang luas dari warga Negara dalam proses politik. Sebelum UU No 32 tahun 2004 ini berlaku, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD.Pilkada langsung di 210 kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2010 adalah gelombang kedua pelaksanaan pemilihan secara langsung. Gelombang pertama terjadi antara tahun 2005 hingga 2008. Gelombang kedua akan terjadi hingga 2013.

Masyarakat mulai mengenal pemilihan langsung ini sejak tahun 2004, yaitu mulai pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2004. Dan tahun 2009 ini masyarakat Indonesia baru saja mengulang ritus demokrasi prosedural itu.Mengemas Diri-Menebar JanjiImplikasi ekonomis dari penyelenggaraan pilkada dan juga pileg dan pilpres secara langsung adalah menimbulkan biaya politik yang tinggi. Setiap kandidat harus menguras kocek hingga miliaran rupiah untuk membayar kendaraan politik (partai politik) dan untuk sosialisasi diri kepada konstituen.Sosialisasi diri adalah kerja politik yang menentukan menang tidaknya seorang kandidat.

Partai politik pengusung benar-benar hanya menjadi kendaraan politik yang mengantarkan seorang kandidat pada arena kompetisi pilkada itu. Karena, kebanyakan partai politik (untuk tidak menyebut semua) di Indonesia hanya bekerja menjelang pelaksanaan pemilu (pileg, pilpres, pilkada). Akibatnya, partai tidak memiliki basis dukungan yang real di masyarakat. Parahnya, kebanyakan kandidat juga, adalah para elit yang tidak menyatu dengan keseharian hidup masyarakatnya atau belum memiliki kerja-kerja politik yang dirasakan manfatnya secara praktis oleh masyarakat.

Dalam kondisi seperti ini, incumbent memiliki peluang untuk memenangkan pertarungan terutama kalau dia dinilai berhasil dalam persepsi masyarakat.Karena para kandidat banyak yang muncul dari kalangan elit, apakah elit ekonomi, poitik, birokrat maupun intelektual kampus, hampir pasti harus lebih giat melakukan sosialisasi diri ke konstituen. Dalam sosialisasi diri itulah terungkap janji-janji manis para kandidat.
Semua berlomba-lomba mengklaim diri sebagai the master yang bisa menyulap kemiskinan rakyat menjadi kesejahteraan. Tak cukup dituturkan dengan mulut, janji-janji itu pun disampaikan melalui berbagai media komunikasi, seperti iklan di media elektronik, surat kabar, baliho, selebaran, poster, stiker, dan sebagainya.

Materi iklan-iklan ini dirancang sebagai komunikasi persuasif yang dapat menarik simpati khalayak (konstituen) melalui penggunaan elemen-elemen grafis yang enak dipandang mata. Seperti foto diri yang menampakan senyum atau tampak berwibawah dengan sorotan mata tajam.Wajah yang kasar dan sangar sudah menjadi tampak lembut dan hangat sehingga membangkitkan citra atau persepsi sebagai pemimpin yang berwibawah tetapi tetap ramah kepada masyarakat. Obral janji memang merupakan bagian dari kampanye politik, bertujuan menambah akumulasi perolehan suara. Karena itu, janji-janji politik ini dikemas sedemikian rupa sehingga khalayak (konstituen) nyaris atau bahkan tidak menyadari sama sekali bahwa kesemuanya itu adalah sesuatu yang didesain untuk tujuan jangka pendek meraih dukungan suara. Soal apakah nanti kalau terpilih janji-janji itu direalisasikan, itu adalah urusan moralitas yang tidak memiliki sanksi tegas.

Saat kampanye berlangsung, para kandidat mengkonstruksikan dirinya di hadapan khalayak menjadi tampak baik dan menarik. Walaupun tak jarang tidak sesuai dengan realitas diri yang sebenarnya. Ervin Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1959) menjelaskan bahwa seperti aktor dalam sebuah pentas drama yang memainkan karakter tertentu sesuai skenario, demikian juga seorang aktor di panggung politik memainkan peran yang diskenariokan. Aksinya di depan publik boleh saja memukau, membuat khalayak terkesima, tetapi apa yang terjadi di balik panggung itu, hanya dia dan timnya yang tahu. Citra yang ditampilkan ke khalayak adalah citra artifisial.Jangan TerjebakPilkada-pilkada yang akan digelar itu membuat hidup bersama sebagai suatu masyarakat politik penuh dengan janji-janji dari politisi.
Baru saja kita mengikuti pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2009 dengan berjuta janji para kontestannya. Kini para politisi kembali menebar janji ke telinga kita agar dipilih dalam pilkada. Tetapi rakyat sebagai pemilih sebaiknya sadar bahwa janji, meski mengandung tuntutan etis untuk ditepati, juga sekaligus berpeluang besar untuk tidak ditepati. Pengalaman sehari-hari membuktikan hal ini. Dalam politik praktis tidak terlalu sulit menemukan fakta-fakta ingkar janji para politisi.

Masyarakat misalnya bisa mengamati kondisi kehidupan sehari-hari di kampung atau desa saat seorang politisi berkuasa dibandingkan sebelum dia naik ke singgasana kekuasaan. Adakah perubahan: apakah jalan-jalan sudah diaspal, apakah biaya kesehatan dan pendidikan masih mahal, apakah menjual hasil pertanian ke kota sudah gampang, dan lain sebagainya. So what?
Pertama, jangan meminta-minta sejumlah uang kepada politisi atau menerima uang saat kampanye berlangsung untuk keuntungan diri sendiri. Karena meminta-minta atau menerima uang untuk menukarkannya dengan suara adalah politik transaksional yang menggerus makna politik sebagai sarana memperjuangkan kebaikan bersama. Kekuasaan yang diberikan kepada politisi adalah amanah untuk mengusahkan kebaikan bersama itu. Karena itu, tidak untuk diperdagangkan.

Fakta politik kontemporer menunjukkan fenomena transaksional atau politik dagang sapi sudah dianggap sebagai suatu kewajaran demokrasi liberal. Mulai dari tawar-menawar harga partai sebagai kendaraan di antara sesama elit politik, hingga tindakan segelintir masyarakat di lapisan bawah (grass root) “mengelolah” (menguras duit) calon dalam ajang politik tertentu (pilkada,pileg,pilpres).Fenomena politik transaksional, baik itu di kalangan elit politik dan terutma di kalangan masyarakat sebagai pemilih ini jangan dibiarkan berkembang. Karena fenomena ini merupakan penghancuran terhadap demokrasi. Rakyat kelak akan dianggap kehilangan haknya untuk menuntut pertanggungjawaban kepada penguasa karena kedaulatan itu sudah ditransaksikan atau sudah dijual dengan sejumlah uang.

Kedua, menjadi pemilih yang kreatif. Pemilih adalah pemegang hak politik karena itu mesti digunakan secara kreatif. Dalam kontes politik seperti pilkada susah membedahkan mana “malaikat” dan “mana iblis”, mana calon yang benar-benar serius memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan mana yang sekadar mengejar kekuasaan. Boleh jadi, semua calon adalah iblis dan sekaligus juga malaikat. Tetapi ini tentu tidak berarti tidak memilih atau golput. Tetapi perlu melakukan inovasi dalam memilih, misalnya membuat kontrak politik dengan calon. Calon yang bersedia menandatangani kontrak politik layak untuk dipilih. Harus dipahami kontrak politik adalah tindakan politik kolektif. Artinya, memilih yang merupakan keputusan politik individual ditransformasikan menjadi keputusan kolektif melalui mekanisme demokratis (musyahwara).

Kontrak politik seperti ini pada pemilihan presiden lalu banyak dilakukan pasangan capres/cawapres Megawati Soekarno Putri dan Prabowo. Sayangnya keduanya tidak terpilih sehingga kita tidak bisa mengetahui seberapa efektif kontrak politik yang dilakukan itu.

Dari sudut pandang etika politik, kontrak politik antara kandidat dan konstituen semestinya tidak perlu dilakukan lagi karena kekuasaan politik yang diperoleh seorang penguasa dalam Negara demokrasi memiliki tuntutan etis untuk dipergunakan demi kebaikan bersama. Bahwa seseorang memiliki otoritas untuk memerintah orang lain karena dia memiliki legitimasi etis untuk memerintah. Tetapi realitas politik dalam sistem demokrasi liberal sekarang, justru aspek etika ini yang mengalami defisit.

Ketiga, ke depan perlu dibentuk undang-undang tentang janji-janji politik ini. Di dalamnya diatur: politisi yang ingkar janji diancam sanksi pidana. Sehingga, ada mekanisme hukum positif bagi masyarakat untuk mempidanakan politisi yang tidak menempati janjinya. Hal ini mungkin terkesan utopis, tetapi bukankah dari hal utopis muncul perubahan?

Bela Diri

“Memberi diri” adalah sebuah ungkapan klasik dan galib. Namun, ungkapan ini akan menjadi sebuah ekspresi cinta terluhur ketika diungkapkan atau diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Sapardi Djoko Damono pernah menulis: “Aku ingin mencintaimu, sederhana saja, seperti kayu memberi diri pada api, lalu dibakar menjadi abuh; seperti awan meberi diri pada hujan, lalu menjadi tak ada”.

Yesus, lewat kisah seorang janda miskin yang mempersembahkan seluruh nafkah hidupnya di Bait Allah, ingin mengajar para penginkut-Nya, semua jemaat Kristen, tentang hal pemberian diri ini.

Suatu hari di Bait Suci Yerusalem, setelah mengajar dan berdiskusi dengan imam-imam kepala, ahli-ahli taurat, tua-tua dan khalayak umat Yahudi tentang asal kuasa-Nya, peran para pemimpin agama sebagai penggarap kebun anggur Tuhan, hal membayar pajak kepada kaisar, perkara kebangkitan sesudah kematian, hukum utama, dan hubungan-Nya dengan Daud (Mrk. 11:27-12:37), Yesus duduk (beristirahat) di suatu sudut ruangan Bait Allah sambil memperhatikan semua umat yang masuk ke dalam tempat suci itu untuk berdoa dan memberikan persembahan.

“…Yesus duduk menghadap peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar. Lalu datanglah seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit. Maka, dipanggil-Nyalah murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: sesungguhnya janda miskin ini meberi lebih banyak daripada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan ini”, (Mrk. 12:41-43).

Seorang janda miskin memberi derma lebih banyak daripada orang-orang kaya?
Kemiskinan seorang janda adalah kemelaratan. Suatu kondisi di mana sama sekali tak terpenuhi pelbagai kebutuhan hidup yang seharusnya ada. Atau, kalaupun ada suatu, itu semata-mata untuk bertahan hidup selama sehari atau hanya untuk beberapa jam. Sang penginjil Markus mengisahkan bahwa janda yang dilihat Yesus di Bait Allah itu mempunyai uang sebanyak dua peser atau satu duit.

Peser adalah mata uang Yahudi yang mempunyai nilai terkecil, yakni sebesar setengah duit. Dan dua peser atau satu duit yang dimiliki janda itu menurut Matius 10:29 adalah harga dari dua ekor burung pipit. Mungkin janda itu baru saja mendapat kemurahan dari seseorang yang bersedia mempekerjakannya di ladangnya atau di rumahnya, lalu membayarnya dengan uang sebesar itu. Namun menariknya, uang hasil perolehan janda miskin itu tak disimpannya sebagai persediaan untuk membeli makanan untuk dirinya pada hari-hari selanjutnya, terutama kalau tak ada lagi orang yang mau mempekerjakannya dan membayarnya. Ia mempersembahkannya di Bait Allah tanpa cemas akan apa yang akan dimakannya nanti. Ia mendermakan semua uang miliknya, yang adalah nafkah hidupnya untuk hari berikutnya.

Di sini, uang dua peser yang didermakan janda miskin itu sebenarnya sebesar hidupnya sendiri. Sebab, dengan mendermakannya, ia pasti tak punya apa-apa lagi untuk menafkahi hidupnya. Ia telah mengorbankan dirinya. Karena alasan ini, Yesus lalu mengatakan kepada murid-murid-Nya bahwa janda miskin itu memberi lebih dari semua orang kaya.

Membaca dan merenungkan kisah persembahan janda miskin itu, kita tentu saja bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin janda miskin itu bisa melakukan tindakan senekat itu; memberi tanpa memperhitungkan dirinya sendiri?
Hakikat manusia sebagai makhluk sosial, yang akan selalu hidup berdampingan dengan orang lain untuk saling melengkapi dan memenuhi kebutuhan masing-masing, memungkinkan manusia untuk saling memberi. Karena itu, berbicara tentang hal memberi tentu saja lumrah. Namun soal memberi tanpa memperhitungkan kebutuhan diri sendiri, atau bahkan memberi diri adalah bukan perkara biasa. Ini soal iman.

Beriman berarti menaru seluruh kenyamanan diri pada Tuhan. Dan iman dalam pemahaman seperti ini telah sungguh dihayati dan diwujudnyatakan seorang janda miskin, sebagaimana cerita Injil Markus. Dalam kemelaratannya, ia sungguh percaya kepada Tuhan, bahwa dalam Tuhan ia akan tetap hidup meskipun banyak persoalan melilitinya. Ia mempunyai keyakinan bahwa memberi kepada Tuhan adalah investasi untuk hari esok. Karena itu, ia telah mempersembahkan seluruh nafkah hidupnya kepada Tuhan tanpa cemas dan tanpa menyisakan sedikitpun untuk dirinya.

Realitas dunia dewasa ini memperlihatkan secara sangat jelas, bahwa semakin maju peradaban, manusia semakin tidak mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Penemuan-penemuan dalam bidang teknologi dan pelbagai bidang keilmuan membuat manusia merasa sangat yakin, bahwa seluruh persoalan hidupnya dapat teratasi dengan hasil penemuannya itu. Manusia mulai menaru keyakinan kepada hasil karyanya, sibuk bekerja dan berbisnis sampai mengabaikan dan meninggalkan Tuhan.

Lantas, manusia modern menjadi orang-orang milik waktu dan mesin. Bahkan, pikiran mereka pun tak bisa menjadi milik mereka. Sepanjang saat, ia berputar-putar bersama mesin yang terus mencetak atau mengebor. Atau kadang ia berjalan jauh, pergi bersama distribusi produk menuju tangan pelanggan; dan kadang juga ia berputar-putar tanpa arah, mencari-cari cara untuk memperlancar aliran dana yang kandas, entah karena sengaja ditilep rekan kerja atau kandas di tangan peminjam, yang masih enggan membayar meski sudah rutin ditagih tiga kali seminggu. Aneka kesibukan ini lalu membuat manusia jadi terasing dari diri sendiri dan keluarganya. Ekspresi dirinya menjadi tak sedap dipandang karena terkesan badan dan pikirannya berjalan berlawanan arah. Kalau tiba di rumah, kelihatan tanpa gairah, kalau disapa hanya senyum-senyum kecil atau menjawab seadanya. Dan kalau makan bersama keluarga, sekali senduk nasi diayun, beberapa kata kesal dan kecewa karena ulah rekan-rekan di tempat kerja terucap.

Pada taraf ini, manusia sedang “menjanda”, menjadi seseorang yang tak punya apa-apa dan siapa pun. Ia bahkan kehilangan Tuhan dan dirinya sendiri. Selain itu, hal pemberian diri sebagaimana diikrarkan dalam janji perkawinan menjadi awamakna. Alih-alih mencari dan mengumpulkan kekayaan untuk orang-orang tercinta, ia sampai lupa memberi apa yang paling berharga dan paling berarti bagi orang-orang kecintaanya, yaitu dirinya, perhatian dan cintanya.

Sering terjadi bahwa karena orang tua terlalu sibuk, anak-anak hanya ditemani boneka mainannya di rumah, televisi, video game, atau mungkin seorang pengasuh yang hanya bisa menggendong dan memberi makan si anak. Selain itu, hal-hal penting untuk pertumbuhan anak secara wajar tak pernah diperhatikannya, entah karena keterbatasannya atau karena memang bukan anaknya.

Sebenarnya orang-orang di sekitar kita, keluarga kita adalah “Tuhan” kita, mereka yang seharusnya kita beri seluruh diri kita, bukan sekadar menghibur mereka dengan gaji yang tinggi, jabatan yang penting, dan hal-hal lain yang sifatnya hanya sementara. Sebab Jika hanya hal-hal ini yang kita berikan kepada orang-orang kecintaan kita, kita tak lebih dari kaum Farisi yang hanya memberi dari sisa harta mereka yang tak terpakai kepada Tuhan, bukan iman, bukan cinta yang sesungguhnya. Karena itu, Yesus mengajak kita untuk meneladani seorang janda miskin. Walau pemberiannya di mata dunia tidaklah berarti, namun pemberiannya adalah yang paling benar dan paling didambakan, yakni cinta dan perhatian.

Jangalah takut memberi cinta dan perhatian, karena manusia tak pernah miskin atau kehabisan cinta.