Senin, 14 September 2009

Kapolres Mabar, APA YANG ENGKO TUNGGU




Ekplorasi tambang emas di Tebedo, Mabar, dihentikan sementara. Dalam warta Flores Pos Sabtu 22 Agustus 2009, Bupati Fidelis Pranda mengemukakannya dengan cara berikut. Eksplorasi dihentikan karena tidak ada koordinasi antar-instansi terkait. Langkah ini diambil setelah ada laporan dari dishut. Penghentian hanya 30 persen, pada areal yang masuk kawasan hutan.

Tampak, alasan Bupati Pranda tidak menohok ke inti masalah. Ia berputar-putar ke persoalan tidak adanya koordinasi. Seolah-olah itulah yang ditemukan dan dilaporkan dishut. Seolah-olah tatkala staf dishut ke lokasi, yang mereka temukan adalah hal yang abstrak itu: masalah koordinasi.

Aneh kalau staf dishut tidak menemukan lubang-lubang parit uji. Aneh kalau staf dishut tidak menemukan pohon bertumbangan. Sebagian kegiatan dan akibat ekplorasi itu menimpa kawasan hutan tutupan Nggorang Bowosie RTK 108. Aneh kalau hal-hal sekonkret ini diabstrakkan menjadi masalah koordinasi.

Kita berkeyakinan, laporan dishut tidak seperti itu. Ini hanya ‘laporan’ Bupati Pranda kepada pers. Dengan tidak menohok ke substansi, ia terkesan menggiring dan membatasi alasan penghentian eksplorasi hanya pada persoalan teknis prosedural: tidak adanya koordinasi.

Patut dapat diduga, ini taktik ‘penghindaran’ (avoidance). Perhitungannya: karena cuma masalah teknis antar-instansi maka penyelesaiannya pun cukup secara teknis kepemerintahan. Seakan-akan persoalan ini mau dilokalisasi menjadi persoalan intern kedinasan semata. Dengan demikian, tak ada tempat bagi intervensi hukum dan segala dampaknya.

Di republik sialan ini, cara basi ini tetap saja digunakan. Tindak pidana korupsi, misalnya, direduksi menjadi sekadar kesalahan prosedural. Ingat kasus Jamsostek? Kasus ini dihentikan penyidikannya karena, menurut kejaksaan, tidak terbukti merugikan negara. Sebab, dana Rp7,1 miliar yang dikeluarkan di masa Menaker Abdul Latief sebagai biaya membahas undang-undang ketenagakerjaan oleh DPR, sudah dikembalikan lagi ke kas Jamsostek.

Logika elementer hukum pidana diinjak habis. Sejumlah uang diambil, dipakai oleh seorang pejabat, dikembalikan, lalu tak ada soal lagi. Padahal, seharusnya, perbuatan pidana tidak hapus hanya karena akibat-akibatnya telah dipulihkan.

Kita khawatir, kasus ekplorasi tambang emas Tebedo mau dibikin seperti ini. Kita tidak rela. Karena itu, kita luruskan dulu logika Bupati Pranda. Eksplorasi tambang emas Tebedo dihentikan bukan karena tidak ada koordinasi antar-instansi terkait, tapi karena ekplorasi itu sudah memasuki hutan tutupan Nggorang Bowosie RTK 108.

Inti masalahnya adalah perambahan hutan. Ini sudah merupakan tindak pidana. Fakta hukumnya jelas, meski tidak ditonjolkan oleh Bupati Pranda. Ia mengatakan penghentian hanya 30 persen yakni pada areal yang masuk kawasan hutan. Kata ‘hanya’ di sini tidak menyusutkan fakta hukum. Biar cuma 1 persen, yang namanya rambah hutan ya tetaplah tindak pidana. Yang namanya tindak pidana ya haruslah diproses hukum.

Pada titik inilah langkah Geram melaporkan Bupati Pranda dan kuasa pertambangan PT Sejahtera Prima Nusa Mining sangat tepat. Geram melapor ke polres Rabu 19 Agustus. Anehnya, hingga Jumat 21 Agustus laporan itu belum diterima Kapolres Samsuri. Jujurkah kapolres?

Semoga ini juga bukan taktik ‘penghindaran’. Segera tindak lanjuti laporan Geram. Fakta hukumnya jelas. Semakin diperjelas oleh keputusan bupati menghentikan sementara ekplorasi. Tunggu apa lagi?

Jumat, 04 September 2009

Meneropong, Dosa-Dosa Pranda


Mache Pahun

Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dinilai telah melakukan sejumlah pelanggaran baik terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun terhadap hak-hak asasi manusia (HAM). Pelanggaran apa saja yang dilakukan pemerintah Manggarai Barat terkait dengan investasi pertambangan di wilayah ini? Berikut hasil kajian Forum Gerakan Masyarakat Anti Tambang (GERAM), suatu organisasi massa yang sejak bulan Mei lalu gencar melakukan berbagai aksi tolak industri pertambangan di wilayah Flores-Lembata.

Pertama, pemerintah Manggarai Barat dinilai telah mengangkangi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Beberapa pasal yang dilanggar pemerintah Mabar yakni: Pasal 1 ayat 25 tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). AMDAL yakni kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan.

Kedua, pasal 10 point (a) menyatakan penetapan wilayah pertambangan dilaksanakan secara transparan, partisipatif dan bertanggung jawab; point (b) menyatakan penetapan wilayah pertambangan dilaksanakan secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya serta berwawasan lingkungan. Ketiga, pasal 39 ayat (1) point (c) menyatakan bahwa Ijin Usaha Pertambangan Eksplorasi wajib memuat rencana tata ruang dan point (n) wajib memuat AMDAL.

Keempat, pasal 64 menyatakan pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di WIUP sebagaimana dimaksud dalam asal 16 serta memberikan IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 kepada masyarakat secara terbuka. Lima, pasal 97 menyatakan pemegang IUP dan IUPK wajib menjamin penerapan standar baku mutu lingkungan sesuai dengan karakterisktik suatu daerah.

Keenam, pasal 96 menyatakan, pemegang IUP dan IUPK wajib menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketujuh, pasal 135 menyatakan, pemegang IUP atau IUPK hanya dapat melaksanakan kegiatan setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah.

Beberapa pasal dari Undang-Undang tersebut dinilai telah diabaikan oleh pemerintah Manggarai Barat. Pelanggaran-pelanggaran tersebut secara rinci dapat disebutkan antara lain: Pertama, AMDAL sebagaimana ditetapkan dalam pasa 1 ayat 25 dan pasal 39 point (n) tidak dilakukan oleh pemerintah dan investor pertambangan. Kedua pasal ini secara jelas mengharuskan adanya AMDAL atau AMDAL seharusnya dilaksanakan serempak pada saat eksplorasi dan bukan sebelum kegiatan eksploitasi dilaksanakan.

Kedua, penetapan wilayah pertambangan yang menurut undang-undang harus dilakukan secara partisipatif, transparan sambil mendengar pendapat masyarakat sebagaimana ditegaskan dalam pasal 10 point 1 dan 2. Amanat peraturan ini tidak diindahkan oleh pemerintah Mabar. Fakta membuktikan, pemerintah Mabar bekerjasama dengan investor tambang memulai melakukan kegiatan eksplorasi secara diam-diam di kawasan wisata wisata Batu Gosok, Tebedo dan beberapa titik lokasi tambang lainnya. Kenyataan ini bertentangan pula dengan pernyataan Bupati Pranda dalam seminar tentang tambang pada tanggal 25 April 2009 lalu di mana secara tegas Bupati Pranda mengatakan bahwa pertambangan belum dimulai. Pernyataan Bupati Pranda tersebut dinilai sebagai sebuah pembohongan publik. Karena di fakta di lapangan berbeda dengan pengakuan Bupati Pranda.

Ketiga, Pemda Mabar tidak pernah mengumumkan rencana kegiatan pertambangan di wilayah ijin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 serta memberikan IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 kepada masyarakat secara terbuka.

Keempat, wilayah Batu Gosok dan Tebedo adalah wilayah yang memiliki karakteristik khusus. Batu Gosok adalah kawasan wisata komersial sebagaimana diatur dalam Peraturan daerah (Perda) No. 30 tahun 2005 pasal 23 point a. Perusakan kawasan ini oleh aktivitas perusahaan tambang akan menghancurkan sendi-sendi industri pariwisata Manggarai Barat. Sementara itu, Tebedo juga adalah wilayah yang memiliki karakteristik yang khusus karena di wilayah itu ada terdapat sedikitnya 6 sumber mata air yang mengalir ke arah Wae Mese. Perusakan lingkungan di wilayah itu akan mengurangi debit air yang selanjutnya akan mematikan sendi perekonomian masyarakat petani di wilayah Dalong, Nggorang, Merombok, Nanganae dan sekitarnya. Wilayah itu juga merupakan pemasok air bersih untuk warga kota Labuan Bajo.Mengijinkan pertambangan di kedua wilayah tersebut merupakan pengangkangan terhadap UU RI No. 4 tahun 2009 pasal 97 dan 98.

Kelima, pemerintah Manggarai Barat melalui para investor melakukan aktivitas pertambangan tanpa mendapat persetujuan dari masyarakat pemegang hak atas tanah. Aktivitas pertambangan di Batu Gosok yang merupakan bagian dari wilayah Kedaluan Nggorang dilaksanakan tanpa persetujuan dari pemangku adat Nggorang. Hal ini telah diakui oleh para pemangku adat setempat.
Keenam, pemerintah Mabar dinilai telah melakukan pelangaran terhadap hak asasi manusia (HAM) yakni hak ekonomi, sosial dan budaya lantaran pemerintah mengambilalih secara sepihak tanah milik masyarakat tanpa musyawarah dan ganti rugi.